WASIAT EMAS BAGI PENGIKUT MANHAJ
SALAF
Oleh :
Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad asy-Syihhi
-Hafidhahullahu-
Alih Bahasa :
Abu Abdirrahman as-Salafy, Lc.
بسم
الله الرحمن الرحيم
Ucapan terima kasih &
penghormatan
Saya ucapkan rasa terima kasih kepada
Fadhilatusy Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali atas kesediaan beliau untuk aku
membacakan buku ini padanya, serta atas nasehat beliau yang berharga dalam hal
ini. Sebagaimana juga aku berterima kasih kepada Syaikh Abdul Malik Ramadhani
atas kesediaan beliau dalam meneliti buku ini dan mengoreksinya.
Dan
aku juga berterima kasih kepada Saudara Nawwaf bin Kholifah atas jerih payahnya
dalam pengetikan buku ini. Semoga Allah yang Maha perkasa dan Maha kuat
memberkahi Ahlus Sunnah dan ulama’nya, serta menguatkan tekad dan memuliakan
perkara mereka, sesungguhnya Dia Maha kuasa atas yang demikian itu.
Muqaddimah
Segala puji bagi Allah kami menyanjung,
meminta pertolongan dan memohon ampunan-Nya, dan kami berlindung kepada-Nya
dari kejelekan diri serta perbuatan kami, barangsiapa yang Allah beri petunjuk
maka tidak ada seorangpun yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang
disesatkan-Nya maka tidak ada seorangpun yang dapat memberinya petunjuk, aku
bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah saja
tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan
utusan-Nya.
Wahai orang-orang beriman bertakwalah kepada Allah dengan
sebenar-benarnya takwa dan janganlah kamu mati melainkan dalam keadaan berserah
diri (Surat Ali ‘Imron : 102)
Hai sekalian manusia bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kalian dari diri yang satu dan dari padanya Allah menciptakan
istrinya dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan mempergunakan
nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu
(Surat An-nisa’
: 1)
Wahai orang-orang beriman bertakwalah kepada Allah dan katakanlah
perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu dosa-dosamu. Dan
barangsiapa menta’ati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat
kemenangan yang besar (Surat Al-Ahzab : 70-71)
Kemudian
setelah itu :
Sesungguhnya
sebenar-benar perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Muhammad –shallallahu alaihi wa
sallam-, dan sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam
agama), dan setiap perkara yang baru itu adalah bid’ah, setiap bid’ah itu sesat
dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka.
Dan
setelah itu : Aku memuji Allah yang maha mulia atas nikmat-Nya yang begitu
banyak yang diberikan kepada umat ini secara umum, dan kepada Ahlus Sunnah wal
Jama’ah secara khusus yang telah menerangi jalan mereka, sehingga mereka bisa
melihat dan merasa tenang.
Bagaimana
mereka tidak dapat melihat dan tidak bisa merasa tenang ?
Sedang
mereka mencari penerang/petunjuk dari Al-qur’an dan sunnah sesuai dengan
pemahaman salafush sholeh (para pendahulu) mereka dari kalangan shahabat,
tabi’in yang hidup pada zaman kemuliaan, yang sebagian manusia menyimpang dari
jalan mereka dan tidak menentu arahnya, sehingga mereka –na’udzu billah-
terfitnah dengan syubhat yang menyesatkan dan tenggelam dalam syahwat.
Bersamaan
dengan ini –alhamdulillah- masih banyak dari manusia yang ingin bertaubat
kepada Allah dengan menelusuri jejak/metode salafush sholeh serta lari dari
kelompok-kelompok sesat dan dari syubhat-syubhat yang membuat akal dan hati
mereka merasa sakit selama bertahun-tahun lamanya serta menyia-nyiakan jerih
payah selama selang waktu yang lama, maka keadaan merekapun mengatakan : aku
tidak ingin hizbiyah (fanatik golongan), tidak jama’ah tabligh, tidak sufiyah,
tidak ikhwanul muslimin, tidak quthbiyah (pengagung sayyid Qutub) dan tidak
juga partai politik (yang tamak terhadap kursi keparlemenan), akan tetapi aku
menginginkan salafiyah an-nabawiyah (sebagai pengikut Nabi –shallallahu alaihi
wa sallam -dan para sahabatnya-rodhiyallahu ‘anhum).
Tidak
diragukan lagi bahwa taubat/kembalinya mereka kepada manhaj salafi sangat
menggembirakan kita semua –para Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang mana Ahlus Sunnah
adalah orang yang paling kasih sayang kepada manusia sebagaimana mereka adalah
orang yang paling mengetahui kebenaran.
Bagaimana
mereka tidak gembira dengan taubatnya orang yang bertaubat ?!
Sedang
mereka mendengar sabda Nabi –shallallahu alaihi wa sallam- (Sungguh Allah
bergembira dengan taubat hamba-Nya dari salah seorang kalian yang jatuh dari
untanya lalu dia disesatkannya ditempat terpencil)[1][1].
Dan
sabda beliau-shallallahu alaihi wa sallam-
: Tidak beriman salah seorang dari kalian
sehingga dia mencintai saudaranya sepeti dia mencintai dirinya sendiri [2][2].
Akan
tetapi rasa gembira ini diiringi oleh rasa sedih dan duka atas apa yang kami
temui dan yang kami saksikan pada sebagian mereka yang bertaubat/ kembali
kejalan salaf dari rasa bimbang dan tidak menentu dengan sebab banyaknya
syubhat yang ditebarkan oleh ahli batil yang mengombang-ambingkan mereka kekanan
dan kekiri, dan dengan sebab mereka tidak bertanya kepada ahli ilmi dari
kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Oleh
karena itulah aku berkeinginan untuk menulis beberapa wasiat [3][3]
bagi mereka yang bertaubat/kembali kejalan salaf yang aku kira bisa mengobati
sebagian kebimbangan dan keterombang-ambingan yang menimpa sebagian mereka yang
kembali kejalan salaf, dan aku berusaha untuk mempersingkat, mempermudah
kata-katanya, agar lebih mudah dipahami dan diserap, semoga Allah yang Maha
lembut dan Maha mengetahui menjadikannya bermanfaat bagiku, bagi mereka serta
bagi semua saudaraku. Shalawat, salam dan berkah semoga tercurahkan kepada Nabi
kita Muhammad, keluarga, dan shahabatnya.
Penulis
: Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad Asy-Syihhi
Wasiat
pertama
Bersyukur
dan pujilah Allah atas nikmat ini
Sesungguhnya ini adalah nikmat besar yang Allah berikan kepada
siapa yang Dia kehendaki dari para hamba-Nya, maka bersyukurlah, dan ingatlah :
Berapa
banyak orang yang tenggelam dalam syubhat, dia terombang-ambing ketimur dan
kebarat, tidak tahu jalan keluarnya.
Berapa
banyak orang yang terjerumus kedalam syahwat, dia terbelenggu didalamnya, tidak
tahu kapan dia akan selamat.
Maka
bersyukurlah kepada Allah wahai orang yang bertaubat, ketahuilah bahwa nikmat
ini hanyalah dari Allah saja, tidak ada kekuatan dan daya upaya melainkan
dengan (pertolongan) dari Allah yang Maha lembut lagi Maha mengetahui, Dialah
yang mengasihi dan memberimu petunjuk dan tidak mewafatkan kamu dalam keadaan
tenggelam dalam syubhat dan syahwat, bagi-Nyalah segala pujian didunia dan
diakhirat.
Dialah
yang memberimu petunjuk dan memudahkanmu dalam menemui orang yang bisa
menunjukkanmu kejalan/manhaj salafush sholeh, Alangkah banyak nikmat-Nya
kepadaku dan kepadamu, Allah berfirman : Dan
jika kalian menghitung nikmat Allah maka kamu tidak akan dapat menghitungnya (Surat
Ibrahim : 34)
Janganlah kamu -wahai saudaraku yang telah bertaubat- berrsikap
ujub dan terpedaya atau merasa memberi nikmat kepada Allah dengan (taubatmu
itu) Allah ta’ala berfirman : Begitu
jugalah keadaanmu dahulu, lalu Allah memberimu nikmat maka telitilah (Surat
An-Nisa’ : 94)
Janganlah
kamu mencela atau merendahkan orang lain serta yang lagi diuji dengan apa-apa
yang Allah selamatkan dirimu darinya, akan tetapi pujilah Allah yang telah
menyelamatkanmu dan Dia tidak menimpakan kepadamu apa yang telah menimpa
mereka, dan katakanlah –jika kamu melihat orang yang lagi ditimpa musibah-:
( الحمد لله الذي عافا ني مما ابتلاك به وفضلني
على كثير ممن خلق تفضيلا ))
Artinya
: Segala puji bagi Allah yang telah
menyelamatkanku dari apa-apa yang menimpamu dan telah mengutamakanku dari
kebanyakan manusia. [4][4].
Berlemah
lembut dan sayangilah mereka serta berharaplah agar mereka mendapat apa yang
telah Allah berikan kepadamu dari kebaikan dan petunjuk.
Ketahuilah
–semoga Allah memberimu taufik- bahwa harus bagimu untuk menelusuri sebab-sebab
yang bisa membantu dalam memperbaiki taubatmu dengan giat serta
bersungguh-sungguh, ikhlas dan jujur, pertama kali yang harus kamu mulai adalah
:
Wasiat
kedua
Menuntut ilmu adalah pondasi
dalam memperbaiki taubatmu
Ilmu adalah pondasi/asas dalam memrperbaiki taubatmu, yang
demikian itu karena dua perkara :
Pertama :
Syubhat itu kebanyakan menempel di relung hati dan akalmu, jika kamu tidak
menghilangkannya dengan ilmu yang bermanfaat maka kamu akan senantiasa
dibayangi oleh syubhat tersebut dalam setiap perkataan, perbuatan dan
keadaaanmu, bahkan dalam dakwahmu sebagaimana ini adalah fakta kebanyakan dari
manusia yang meloncat dari taubat langsung berdakwah, mereka menyeru kepada
dakwah salafiyah tapi dicampuri dengan syubhatnya Ikhwanul Muslimin yang
menyeru kepada persatuan (seluruh kelompok sesat-pent), atau kepada quthbiyah
yang menyeru kepada pengkafiran (kaum muslimin-pent), atau kepada sururiyah
hizbiyah, bungkusnya salafiyah tapi bau dan rasanya tidak demikian, maka dakwah
mereka kepada salafiyah tercampur dengan manhaj/metode tertentu dengan dasar
syubhat yang senantiasa menemaninya sebelum bertaubat dan belum dimusnahkan :
Yang
ini menyeru kepada kepemimpinan dalam berdakwah ….
Yang
lain menghancur leburkan sebagian pokok manhaj salafi dengan alasan hal
tersebut menyebabkan kerasnya hati, atau memutuskan hubungan persaudaraan …
Yang
lain lagi mengikrarkan pemikiran-pemikiran quthbiyah …..
Yang
lain lagi menyeru kepada hizbiyah …..
Yang
lain lagi membawa pemikiran tahyijiyah (seperti khowarij yang menyeru untuk
keluar dari daulah islam atau demontrasi -pent) ….
Dan
yang lain menggembar-ngemborkan persatuan ….
Semua itu
diatas namakan salafiyah, kepada Allahlah aku mengeluh, inna lillahi wa inna
ilaihi raji’un.
Kedua :
Kadang-kadang syubhat itu mengombang ambingkanmu, lalu merubah arahmu dalam
bertaubat/kembali ke salafiyah, sehingga kamu menjadi bingung atau kamu menyeru
kepada syubhat itu sedang kamu merasa benar padahal itu adalah kebatilan yang
jelas.
Berapa
banyak orang yang mengaku-ngaku salafi dan berilmu yang
mempermainkan/mengombang-ambingkan para pemuda yang baru bertaubat kepada
Allah. Yang demikian itu karena mereka tidak menuntut ilmu yang bermanfaat,
atau tidak bertanya kepada ahli ilmu dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Maka
wajib bagimu wahai orang yang bertaubat –semoga Allah memberimu taufik- untuk
menuntut ilmu yang bermanfaat, karena hal itu dapat memperbaiki taubatmu,
meluruskan jalanmu, denganyalah kamu akan selamat dari syubhat dan dari
ketergelinciran, dan kamu akan terhindar dari jaring-jaring perangkap dengan
seidzin Allah dan taufik-Nya.
Adapun
dalil-dalil mengenai keutamaan ilmu dan ulama’ maka hal ini sangatlah dikenal,
aku akan sebutkan sebagiannya yaitu :
Firman
Allah ta’ala : Allah menyatakan
bahwasannya tidak ada yang berhak disembah dengan benar melainkan Dia. Yang
menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang berilmu juga menyatakan yang
demikian itu. Tidak ada yang berhak disembah dengan benar melainkan Dia, Yang
Maha perkasa lagi Maha bijaksana (Surat Ali Imron : 18)
Dan firman Allah ta’ala : Sesungguhnya
yang takut kepada Allah dari hamba-Nya adalah para ulama’ (Surat Fathir :
28)
Dan
firman-Nya : Allah mengangkat orang-orang
beriman diantara kalian dan yang memiliki ilmu beberapa derajat (Surat
Al-Mujadilah : 11)
Dan
firman Allah ta’ala ketika Dia memberi nikmat kepada Nabi-Nya –shallallahu
alaihi wa sallam- dengan diturunkan kepadanya al-Qur’an dan as-Sunnah, serta
penjagaan Allah bagi beliau dari menyesatkan manusia : Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah
segolongan dari mereka berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. Tetapi mereka
tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat
membahayakanmu sedikitpun kepadamu. Dan juga karena Allah telah menurunkan
kitab dan hikmah (sunnah) kepadamu, dan telah mengajarkanmu apa yang belum kamu
ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu (Surat An-Nisa’ :
113)
Jika
kamu –wahai oang yang bertaubat- telah mengetahui pentingnya ilmu dan
keutamaannya, serta bahayanya melalaikan ilmu. Maka ketahuilah bahwa ilmu yang
(harus) kamu pelajari pertama kali adalah :
Wasiat ketiga
Mulailah dengan mempelajari pokok-pokok ajaran Ahlus Sunnah wal
Jama’ah
Ketahuilah –semoga Allah memberimu taufik untuk menta’ati-Nya-
bahwa aku tidak memaksudkan dengan pokok disini hanya macam-macam tauhid yang
tiga saja, akan tetapi tauhid dan selainnya dari pokok-pokok ajaran Ahlus
Sunnah wal Jama’ah yang telah disepakati dan mereka menyelisihi ahli bid’ah dan
firqoh dalam hal itu:
Seperti
wala’ dan bara’ (mencintai dan membenci), amar ma’ruf dan nahi ‘anil munkar,
bersikap terhadap shahabat, menghormati serta membela mereka, bersikap kepada
pemimpin, kepada orang yang berbuat maksiat dan dosa besar, serta bersikap
kepada Ahli bid’ah dan membicarakan serta bermuamalah dengan mereka dan lain
sebagianya dari pokok-pokok ajaran yang telah disepakati oleh Ahlus Sunnah wal
Jama’ah, mereka memasukkannya dalam kandungan kitab-kitab aqidah dalam rangka
menampakkan kebenaran dan menyelisihi ahli ahwa’ dan firqoh walaupun semua itu
secara asal adalah amal perbuatan bukan aqidah/keyakinan.
Bila
kamu sudah menguasai masalah-masalah dan pokok-pokok ini maka –dengan seidzin
Allah- kamu akan terjaga dari kebanyakan syubhat yang melanda negara-negara
islam.
Ketika
kebanyakan dari mereka yang bertaubat meremehkan hal ini, dan tidak memulai
dalam taubatnya dengan mempelajari pokok-pokok ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah
serta metode mereka, mereka menjadi bingung dan terombang-ambing hanya karena
syubhat yang kecil, kita mohon kepada Allah keselamatan dan ‘afiyah.
Barangsiapa
yang memperhatikan keadaan mereka maka dia akan mendapatkan gambaran dan contoh
yang banyak sekali tentang terombang-ambingnya mereka, diantaranya :
1)
Kamu mendapatkan orang yang baru bertaubat itu pada awal mulanya
sangat semangat sekali menjauhi ahli bid’ah dan firqoh beberapa saat lamanya,
ketika dia mendengar syubhat dari orang yang mengaku salafi yang berkata :
“Sesungguhnya menjauhi ahli bid’ah dan tidak bermu’amalah dengan mereka
tidaklah benar, hal ini akan menyia-nyiakan kebaikan yang banyak sekali, tidak
ada satu orangpun yang maksum setelah Rasul –shallallahu alaihi wa sallam-,
mereka para sahabat –rodhiyallahu ‘anhu- juga pernah salah….”, kamu
mendapatkannya (setelah dia mendengar syubhat itu-pent) telah sakit hatinya dan
dia telah menenggak syubhat itu lebih cepat dari pada dia meminum air, pada
waktu itu juga dia telah berkumpul dengan ahli bid’ah, tidak perduli lagi
dengan pokok-pokok ajaran salafiyah tapi dia masih menamakan dirinya salafi.
Sesungguhnya kebimbangan ini terjadi karena tidak adanya keinginan
mempelajari Al-qur’an dan sunnah sesuai dengan pemahaman para salaf, serta
pokok-pokok ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah, seandainya dia mempelajarinya maka
sungguh dia akan mengetahui bahwa syubhat ini batil menyelisihi sikap Ahlus
Sunnah wal Jama’ah terhadap ahli bid’ah yang dahulu maupun sekarang, dan dia
akan mengetahui bahwa perkataan orang yang mengaku salafi itu (tidak ada
seorangpun yang maksum setelah Rasul –shallallahu alaihi wa sallam- dan bahwa
semua orang itu pernah salah) adalah benar tapi maksudnya adalah batil,
demikian itu karena Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari kalangan shahabat, tabi’in
apabila salah seorang dari mereka salah tidaklah kesalahan itu bersumber dari
hawa nafsu, atau dari ketidak adanya mengikuti atsar (hadits), dan tidak juga
bersumber dari menyelewengkan nash-nash, serta mengikuti hal-hal yang
mutasyabih/samar-samar, seperti yang dilakukan oleh ahli bid’ah, akan tetapi
karena ketidak tahuannya terhadap dalil atau dia mengetahui tapi menurutnya
dalil tersebut tidak shohih atau lain sebagainya, yang disitu terdapat udzur
baginya.
Bagi mereka dan yang mengikuti mereka itulah turun sabda Nabi
–shallallahu alaihi wa sallam- : Apabila
seorang hakim berhukum dan dia berijtihad lalu benar maka dia mendapat dua
pahala dan apabila salah maka dia mendapat satu pahala [5][5].
Hal ini berlainan dengan ahli bid’ah dan firqoh yang tidak pernah
memperhatikan atsar dan mereka lebih mendahulukan akal dari pada nash al-qur’an
ataupun sunnah bahkan mereka membuat ajaran sendiri yang menyelisihi ajaran
Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mereka ini tidak bisa diberi udzur seperti yang
dikatakan oleh pengaku salafi itu, tidaklah yang menggolongkan mereka kedalam
Ahlus Sunnah wal Jama’ah melainkan orang jahil atau ahli bid’ah yang angkuh.
2) Kamu mendapatkan orang yang baru bertaubat itu sangat
bersemangat pada awalnya dalam membantah ahli bid’ah tapi tanpa ketentuan dan
tanpa ilmu, hal ini berlangsung beberapa saat lamanya, ketika dia mendengar
syubhat dari yang mengaku salafi : “Sesungguhnya membantah/mengkritik itu
bukanlah dari ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah ! hal ini bisa membuat hati keras
!![6][6]
dahulu ada seorang yang suka mengkritik golongan-golongan yang ada lalu dia
berbalik kebelakang dengan sebab itu !!!…”, dia mundur kebelakang, dan
mengingkari pokok yang agung yang tegak dengannya agama ini (yaitu membantah
ahli bid’ah –pent) bahkan kamu mendapatinya setelah itu berdakwah/menyeru
manusia untuk meninggalkan pokok ini dengan alasan hal itu bisa mengeraskan
hati.
Yang benar bahwa hal ini adalah pokok yang agung tegak dengannya
agama yang lurus ini, dan merupakan pintu yang kokoh dalam menjaga manhaj Ahlus
Sunnah wal Jama’ah dari penyelewengan, serta merupakan ibadah yang mulia yang
mendekatkan kepada Allah sekaligus menambah iman seorang muslim tapi dengan
dipenuhi syarat-syaratnya diantaranya adalah ikhlas dll, pokok yang satu ini
sama dengan ibadah lainnya yang dapat menambah iman.
Penyimpangan ini bukan berasal dari pokok ajaran/manhaj tapi dari
yang mempraktekkan pokok tersebut tanpa adanya kaidah/ketentuan, ketika syubhat
itu mendapatkan tempat didalam hatinya dia lalu mengingkari pokok yang satu
ini, padahal seharusnya dialah yang berhak untuk diiingkari karena tidak
mempraktekkan pokok ajaran(Ahlus Sunnah wal Jama’ah).
Oleh karena itulah kita tidak mendapatkan para Imam petunjuk dari
kalangan shahabat, tabi’in dan para pengiktut mereka dengan baik kecuali dalam
keadaan bertakwa, zuhud, dan takut kepada Allah, hati mereka sangat lembut
padahal mereka sangat sering membantah orang atau kelompok yang menyelisih
(Al-qur’an dan sunnah-pent).
Lihatlah Abdullah bin Mubarak, Imam Ahmad bin Hambal, Yahya Bin
Ma’in, Ali Bin Madini, Abu Hatim Ar-Rozi dan Bukhari…. Sejarah hidup mereka
dipenuhi dengan zuhud, wara’, takut kepada Allah, dan takwa.
Pemutar balikan fakta dan pencampuradukan hal ini sebabnya adalah
ketidak adanya keikhlasan dan kejujuran dalam bertaubat kepada Allah, dan
ketidak adanya keinginan untuk mempelajari pokok-pokok ajaran Ahlus Sunnah wal
Jama’ah pada awal mulanya.
Dari sini –wahai orang yang bertaubat- harus bagimu untuk
berhati-hati dari perangkap yang berbahaya ini, dan kamu harus mengetahui bahwa
tidak ada keselamatan bagimu dari syubhat yang menjarar dan dari perangkap yang
menjerumuskan ini kecuali apabila Allah memberimu taufik/petunjuk dan kamu
mempelajari pokok-pokok ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Maka telusurilah jalan ini dengan semangat membara dan kemauan
keras, Peganglah kuat-kuat apa yang kami
berikan padamu (Surat Al-Baqarah : 63), serta jujur dan ikhlas, Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari
keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan
Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik
(Surat Al-Ankabut : 69).
Yakinlah akan firman Allah ta’ala : Dan sesungguhnya jika mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan
kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih
menguatkan (iman mereka), dan kalau demikian, pasti kami berikan kepada mereka
pahala yang besar dari sisi kami, dan pasti kami tunjuki kepada jalan yang
lurus (Surat An-nisa’ : 66-68).
Berhati-hatilah dari rasa lemah, loyo dan putus asa terhadap apa
yang menimpamu dijalan Allah, janganlah kamu lalai dari firman-Nya : (Mereka
tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka dijalan Allah dan tidak
lesu dan tidak pula menyerah kepada musuh, Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebaikan) (Surat Ali-imron : 146).
Wasiat
keempat
Janganlah
mengambil ilmu kecuali dari Ahlus Sunnah
Imam Muhammad bin Sirin pernah berkata : Sesungguhnya ilmu itu adalah agama maka lihatlah dari siapa kalian mengambil
ilmu.
Beliau juga berkata : Mereka
(salaf/sahabat) dahulu tidak pernah bertanya tentang isnad (silsilah periwayat
hadits) tetapi ketika terjadi fitnah mereka berkata : sebutkan kepada kami
guru-guru kalian. Lalu dilihat, bila
dia Ahlus Sunnah maka diambil haditsnya, tapi jika ahli bid’ah maka ditolak
haditsnya.[7][7].
Pada saat sebagian mereka yang bertaubat tidak memperdulikan untuk
mengenal pokok dan ketentuan ini, mereka menjadi santapan syubhat, dan sasaran
permainan orang-orang yang mengaku-ngaku salafi dan punya ilmu, tidaklah
seseorang yang mengaku dirinya memiliki ilmu dan (pura-pura) menampakkan
hubungannya dengan kibarul ulama’ Ahlus Sunnah melainkan kamu mendapatkan para
pemuda yang baru bertaubat telah duduk mengelilinginya tanpa diteliti hakikat,
dan tanpa diperiksa sejarah hidupnya, ketika dia melihat pengikutnya sudah
sangat banyak, dan para pendukungnya sudah sangat menyukainya mulailah dia
menampakkan apa yang disembunyikannya dan yang diinginkannya, kamu melihatnya
mulai menyeru kepada kepemimpinan dalam dakwah, atau kepada persatuan (antar
semua golongan-pent), atau yang lainnya dari hal-hal yang menyelisihi
pokok-pokok Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Pada waktu itulah mereka yang baru bertaubat mulai tampak goncang
dan terpecah menjadi dua kelompok atau tiga : kelompok pendukung, kelompok
oposisi, dan kelompok yang bingung, sesungguhnya hal ini terjadi karena dua hal
:
Pertama : tidak
adanya keinginan mereka (yang bertaubat) untuk menuntut ilmu yang bermanfaat
terutama tentang pokok-pokok ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karena ilmu
merupakan penjaga bagi pemiliknya dari ketergelinciran.
Tidakkah kamu melihat bagaimana ilmu itu bisa menjaga Abi Bakroh
–rodhiyallahu anhu- pada waktu perang Jamal ketika mereka mengangkat ‘Aisyah
Ummul mukminin –rodhiyallahu ‘anha- maka sebuah hadits yang beliau dengar dari
Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- menjaganya, beliau bersabda –ketika
mendengar kabar matinya Kisra/raja persi dan pengangkatan anak perempuannya
(sebagai ratu-pent) - : Tidak akan beruntung
suatu kaum yang dipimpin oleh seorang wanita, ketika terjadi fitnah beliau
ingat hadits ini maka beliau terjaga darinya, yang mana beliau berkata : Allah menjagaku dengan sesuatu yang aku
dengar dari Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- pada waktu matinya Kisra,
beliau bertanya : siapa yang akan mengantinya : mereka menjawab : anak
perempuannya.
Maka Nabi –shallallahu alaihi wa sallam- bersabda : tidak akan beruntung suatu kaum yang
dipimpin oleh wanita, beliau (Abu Bakroh) berkata : ketika Aisyah datang ke
Bashroh aku ingat sabda Rasulillah –shallallahu alaihi wa sallam- ini, maka
Allah menjagaku dengannya)[8][8]
.
Kedua : tidak
adanya rujuk kepada ahli ilmi, karena seharusnyalah untuk bertanya kepada ahli
ilmu atau kepada muridnya dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang mengenal
orang yang ingin diambil darinya ilmu, dan ditanya : apakah dia itu dari
tholibul ilmi as-salafi atau bukan ? apakah dia itu betul-betul belajar ilmu
yang benar yang layak untuk diambil ilmunya atau tidak ?
Jika jawabannya tidak maka selesai perkara –alhamdulillah-, jika
jawabannya positif maka ditimba darinya ilmu tanpa adanya fanatik tapi
ditempatkan pada kedudukannya yang layak.
Ini adalah point yang sangat penting yaitu membedakan antara ahli
ilmi ar-rabbani yang merupakan rujukan dalam masalah-masalah ilmiyah dan dalam
masalah (nazilah) yang sedang terjadi seperti dua orang imam Muhammad
Nashiruddin Al-Albani [9][9]dan
Abdul Aziz bin Abdillah Bin Baz [10][10]–rahimahumallah- dan yang masih hidup
diantara mereka dari kalangan ulama’ rabbani seperti Syaikh Muhammad bin Sholih
Al-‘Utsaimin,[11][11]
Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan, Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali dan Syaikh kami Muqbil
Bin Hadi Al-Waadi’i[12][12]
serta yang setingkat dengan mereka dari kalangan ahli ilmi dan fatwa dari Ahlus
Sunnah wal Jama’ah. Mereka itu memiliki kedudukan masing-masing.
Dan antara tholibil ilmi yang dikenal ilmu dan berpegang teguhnya
dengan sunnah lewat buku-buku mereka serta pujian ahli ilmi ar-rabbani bagi
mereka, mereka itu memiliki kedudukan masing-masing.
Dan antara yang dibawah mereka dari tholibul ilmu yang dikenal
kesalafiyaannya serta kemampuannya dalam mengajar.
Wasiat
kelima
Pentinganya
rujuk kepada ulama’ dalam masalah-masalah besar
Para ahli ilmi ar-rabbani merekalah yang (seharusnya) dijadikan
rujukan dalam-masalah-masalah yang penting lebih-lebih yang berkaitan dengan
kemashlahatan umat islam, jika kamu melihat keadaan orang-orang terdahulu dari
kalangan salafush sholeh kamu akan mendapatkan mereka sangat bersemangat untuk
rujuk kepada para pembesar ahli ilmi yang ada dizaman mereka terutama dalam
hukum-hukum yang bersangkutan dengan tabdi’ (pembid’ahan) dan takfir
(pengkafiran)[13][13].
Perhatikanlah Yahya bin Ya’mar Al-Bashri dan Humaid bin
Abdirrahman Al-Himyari Al-Bashri ketika muncul qadariyah pada zaman mereka,
mereka (qadariyah) memiliki penyimpangan-penyimpangan terhadap pokok-pokok
ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang mengharuskan pengkafiran atau pentabdi’an
atau pengeluaran mereka dari lingkaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah, tapi kedua
orang itu tidak tergesa-gesa menghukumi mereka bahkan keduanya pergi kepada
ahli ilmi dan fatwa yang merupakan rujukan yaitu Abdullah bin Umar bin
Khoththob –rodhiyallahu anhu- kemudian keduanya menceritakan kepada beliau
tentang apa- yang terjadi lalu beliau berfatwa akan kesesatan qadariyah dan
penyimpangan mereka. (Berkata Yahya bin Ya’mar : Orang pertama yang berbicara
(menyimpang) tentang qadar di Bashroh adalah Ma’bad Al-Juhani, aku dan Humaid
bin Abdirrahman Al-Himyari pergi haji atau Umroh dan kami berkata : Apabila
kami bertemu dengan salah seorang dari shahabat Rasulillah –shallallahu alaihi
wa sallam- kami akan bertanya tentang apa yang dikatakan oleh (qadariyah)
tentang takdir, lalu kami bertemu dengan Abdullah bin Umar bin
khoththob–rodhiyallahu anhu- saat beliau masuk masjid maka kami mengiringi
beliau salah satu dari kami berjalan disamping kanan beliau dan yang lain
disamping kiri, aku kira temanku akan menyerahkan perkara ini kepadaku maka
akupun berkata : Wahai Abu Abdirrahman, sesungguhnya telah muncul ditempat kami
orang-orang yang membaca Al-qur’an, mempelajari ilmu, mereka mengingkari takdir
dan mereka beranggapan bahwa segala sesuatu yang terjadi tidak ditakdirkan
Allah dan tidak diketahui-Nya kecuali setelah terjadi.
Beliau berkata : jika kamu bertemu dengan mereka maka beritahu
bahwa aku berlepas diri dari mereka dan merekapun berlepas diri dariku dan demi
Allah, seandainya salah seorang dari mereka menginfakkan emas sebanyak gunung
Uhud tidaklah Allah akan menerimanya sampai mereka beriman dengan takdir ….)[14][14].
Lihatlah Zubeid bin Harits Al-Yami pada saat muncul Murji’ah pada
waktunya, dia melihat bahwa penyimpangan mereka terhadap pokok-pokok Ahlus
Sunnah wal jam’ah mengharuskan mereka keluar dari golongan Ahlus Sunnah wal
Jama’ah, tapi beliau tidak cepat-cepat menghukuminya tapi dia pergi kepada ahli
ilmu dan fatwa yang merupakan tempat rujukan yang pernah menimba ilmu dari
pembesar shahabat yaitu Abu Wail Syaqiq bin Salamah Al-Asadi Al-Kufi, maka
beliaupun menceritakan apa yang terjadi lalu Abu Wail berfatwa dengan hadits
Rasulillah –shallallahu alaihi wa sallam- tentang kebatilan syubhat murjiah,
dan penyimpangan mereka dari jalan Ahlus Sunnah, Zubeid berkata : ketika muncul
Murjiah aku mendatangi Aba Wail lalu aku ceritakan hal ini kepada beliau lalu
beliau berkata : menceritakan kepadaku Abdullah bahwa Nabi –shallallahu alaihi
wa sallam- pernah bersabda : (Mencela orang muslim adalah kefasikan dan
memerangiya adalah kekufuran).[15][15]
Jika kamu membandingkan keadaan mereka bersama para ahli ilmi dan
fatwa dizaman mereka dengan keadaan kebanyakan orang-orang yang lagi bingung
dalam bertaubat pada zaman kita sekarang kamu akan mendapatkan perbedaaan yang
sangat jauh sekali.
Mereka sangat bersemangat dalam menjalankan ketentuan ini, mereka
tidak tergesa-gesa dalam menghukumi orang yang kelihatannya menyimpang pada
zaman mereka sampai mereka memaparkannya kepada ahli ilmu dan fatwa dari
kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, ketika mereka mendengar fatwa merekapun
memegangnya erat-erat dan menjauhi orang-orang yang menyimpang dari ajaran
Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Adapun pada saat ini sedikit sekali kamu mendapatkan orang yang
bersemangat (menjalankan) ketentuan ini, bahkan kamu mendapati sebagian mereka
cuek terhadap perkataan ahli ilmi dan fatwa dalam mentahdzir (memperingatkan
umat) dari ahli bid’ah dan ahwa’dan bahkan mereka memerangi fatwa ahli ilmi
serta menyelewengkannya, kita memohon kepada Allah keselamatan dan ‘afiyah.
Penutup
Pada penutup ini, saya nasehatkan kepada yang menginginkan
keselamatan dan kebahagiaan didunia dan diakhirat untuk berpegang teguh dengan
manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah agar dia terjaga dari syubhat yang menyesatkan,
dan jujur dalam bertaubat serta benar-benar berusaha untuk menjalankan hal- hal
yang bisa membantunya untuk istiqamah, bertawakkal kepada Allah yang Maha
lembut dan Maha mengetahui, dan agar dia bermunajat serta merendahkan diri
dihadapan-Nya sambil memohon pertolongan dan petunjuk.
Semoga Allah memberiku dan semua saudaraku petunjuk kepada apa-apa
yang dicintai dan diridhoi-Nya, dan menjauhkan kita semua dari fitnah yang
nampak maupun yang tersembunyi, serta menolong kita dalam memperjuangkan manhaj
Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan menetapkan kita diatasnya.
Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina
Muhammad wa ‘ala Alihi wa Shahbihi wa Sallim tasliiman katsiiran.
[1]
Diriwayatkan oleh Bukhari dari hadits Anas bin Malik –rodhiyallahu ‘anhu-
(6309) dan ini adalah lafadz beliau, dan Muslim (6896).
[2]
Diriwayatkan oleh Bukhari (13) dan Muslim (162).
[3] Dan aku
masih memiliki beberapa wasiat lain yang hilang bersama dengan tulisanku
mudah-mudahan aku bisa menambahkannya pada cetakan kedua –insya Allah-.
[4]
Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dalam Jami’nya dari hadits Abi Hurairah
–rodhiyallahu anhu- dan dalam sanadnya ada Abdullah bin Umar Al-Umari dan dia
itu dhoi’if, tapi hadits ini ada penguatnya sehingga naik menjadi hasan
lighoirihi.
[5]
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
[6] Ini
diantara keajaiban mereka ! kerasnya hati itu sesungguhnya disebabkan karena
menyelisihi perintah Allah dan rasul-Nya –shallallahu alaihi wa sallam- bukan
sebaliknya.
Bagaimana bisa hati orang yang mengingkari kemungkaran lebih-lebih
bid’ah dan kesesatan itu (dikatakan) keras ? padahal Rasulullah –shallallahu
alaihi wa sallam- bersabda : (Fitnah itu dipaparkan kepada hati seperti tikar
sehelai demi sehelai, hati mana saja yang menyerapnya maka dtulis padanya
titik-titik hitam, dan hati mana saja yang menolaknya maka akan ditulis
titik-titik putih, sehingga terbagi menjadi dua : hati yang putih seperti batu
putih yang mengkilap tidak membahayakannya fitnah selama ada langit dan bumi,
kedua : hati yang hitam kelam seperti cangkir yang miring tidak mengenal yang
baik dan tidak mengingkari yang mungkar kecuali yang telah diserap oleh hawa
nafsunya) (Diriwayatkan oleh Muslim 367)
[7]
Diriwayatkan oleh Muslim dalam mukaddimah shohihnya.
[8]
Diriwayatkan oleh Bukhari (7099), Nasai (5403) dan Tirmidzi (2365) dan ini
adalah lafadz beliau.
[9] Al-Imam
Al-‘Allamah Al-Mujaddid Al-Muhadits Al-Faqih As-Salafy penolong sunnah dan pembasmi
bid’ah Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin bin Nuh Al-Albani, beliau
–rahimahullah- lahir pada tahun 1334 H dan wafat pada 22 jumadits tsani 1420 H
–pent.
[10] Mujaddid
millah Imam Ahlus Sunnah Samahatusy syaikh Al-‘Allamah Abdul Aziz bin Abdillah
bin Baz, beliau –rahimahullah- lahir pada bulan dzulhijjah 1330 H dan wafat
pada 27 Muharram 1420 H –pent.
[11] Imam
Ahlus Sunnah wal Jama’ah al-faqih al-fadhil az-zahid al-wari’ Al-‘Allamah
fadhilatusy syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin At-tamimi, beliau lahir pada
27 ramadhan 1347 H dan wafat pada 15 syawwal 1421 H –pent.
[12] Beliau
telah wafat, rahimahullahu
[13] Tapi ini
bukan berarti bahwa tholibil ilmi tidak menghukumi dalam permasalahan-permasalahan
yang ada secara mutlak, akan tetapi maksudnya adalah dia tidak menghukumi
secara langsung dalam masalah-masalah yang sedang terjadi, terlebih lagi kalau
masalah itu ada kesamar-samarannya, adapun dalam masalah yang sudah jelaa yang
tidak tersamarkan maka tidak harus untuk rujuk kepada para ulama’.
[14]
Diriwayatkan oleh Muslim 93.
[15]
Diriwayatkan oleh Bukhari (48) dan Muslim (218).