Prinsip Pengawetan
Pangan
Kehilangan mutu dan
kerusakan pangan disebabkan oleh faktor-faktor
sebagai berikut:
1).pertumbuhan mikroba yang menggunakan pangan sebagai substrat untuk memproduksi toksin didalam pangan;
2).katabolisme dan pelayuan (senescence) yaitu proses pemecahan dan pematangan yang dikatalisis enzim
indigenus;
3).reaksi kimia antar komponen pangan dan/atau bahan-bahan lainnya dalam lingkungan penyimpanan;
4).kerusakan fisik oleh faktor lingkungan (kondisi proses maupun penyimpanan) dan
5).Kontaminasi serangga, parasit dan tikus.
Agar dapat berjalan, setiap reaksi kimiawi dan enzimatis membutuhkan kondisi lingkungan yang optimum (misalnya suhu, pH, konsentrasi garam, ketersediaan air, kofaktor dan faktor lainnya). Sebagai contoh, mikroorganisme memerlukan semua kondisi yang optimum untuk berlangsungnya reaksi kimiawi dan enzimatis, dan juga membutuhkan karbon, sumber nitrogen, beragam mineral, dan ada atau tidak ada oksigen (aerobik/anaero-bik), beberapa vitamin dan sebagainya. Sehingga: untuk mengontrol kerusakan kita harus membuat kondisi yang dapat menghambat terjadinya reaksi yang tidak dikehendaki. Secara umum, penyebab utama kerusakan produk susu, daging dan unggas adalah mikroorganisme sementara penyebab utama kerusakan buah dan sayur pada tahap awal adalah proses pelayuan (senescence) dan pengeringan (desiccation) yang kemudian diikuti oleh aktivitas mikroorganisme.
Prinsip pengawetan pangan ada tiga, yaitu:
1). Mencegah atau memperlambat kerusakan mikrobial;
2). Mencegah atau memperlambat laju proses dekomposisi (autolisis) bahan pangan; dan
3). Mencegah kerusakan yang disebabkan oleh faktor lingkungan termasuk serangan hama. Mencegah atau memperlambat
kerusakan mikrobial dapat dilakukan dengan cara:
a). mencegah masuknya mikroorganisme (bekerja dengan aseptis);
b). mengeluarkan mikroorganisme, misalnya dengan proses filtrasi;
c). menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme, misalnya dengan penggunaan suhu rendah, pengeringan,
penggunaan kondisi anaerobik atau penggunaan pengawet kimia;
d). membunuh mikroorganisme, misalnya dengan sterilisasi atau radiasi.
Mencegah atau memperlambat laju proses dekomposisi (autolisis) bahan pangan dapat dilakukan dengan cara destruksi atau inaktivasi enzim pangan, misalnya dengan proses blansir dan atau dengan memperlambat reaksi kimia, misalnya mencegah reaksi oksidasi dengan penambahan anti oksidan.
Pengolahan (pengawetan) dilakukan untuk memperpanjang umur simpan (lamanya suatu produk dapat disimpan tanpa mengalami kerusakan) produk pangan. Proses pengolahan apa yang akan dilakukan, tergantung pada berapa lama umur simpan produk yang diinginkan, dan berapa banyak perubahan mutu produk yang dapat diterima. Berdasarkan target waktu pengawetan, maka pengawetan dapat bersifat jangka pendek atau bersifat jangka panjang.
Pengawetan jangka pendek dapat dilakukan dengan beberapa cara misalnya penanganan aseptis, penggunaan suhu rendah (<20°C), pengeluaran sebagian air bahan, perlakuan panas ‘ringan’, mengurangi keberadaan udara, penggunaan pengawet dalam konsentrasi rendah, fermentasi, radiasi dan kombinasinya.
Penanganan aseptis merupakan proses penanganan yang dilakukan dengan mencegah masuknya kontaminan kimiawi dan mikroorganisme kedalam bahan pangan, atau mencegah terjadinya kontaminasi pada tingkat pertama. Penanganan produk dilakukan untuk mencegah kerusakan produk yang bisa menyebabkan terjadinya pengeringan (layu), pemecahan enzim alami dan masuknya mikroorganisme.
Penggunaan suhu rendah bertujuan untuk memperlambat laju reaksi kimia, reaksi enzimatis dan pertumbuhan mikroorganisme tanpa menyebabkan kerusakan produk.
Beberapa perubahan kimia seperti terjadi pada tepung, sereal, biji-bijian, minyak
disebabkan oleh keberadaan air. Air dibutuhkan mikroorganisme untuk mempertahankan hidupnya. Pengeluaran sebagian kandungan air bahan melalui proses pemekatan atau pengeringan akan menurunkan laju reaksi kimiawi, enzimatis maupun mikrobial.
Perlakuan panas ringan (pasteurisasi dan blansir) dilakukan pada suhu <100°C. Proses blansir akan merusak sistem enzim dan membunuh sebagian mikroorganisme. Tetapi, sebagian besar mikroorganisme tidak dapat dihancurkan oleh proses blansir. Pasteurisasi menggunakan intensitas suhu dan waktu pemanasan yang lebih besar daripada blansir. Pasteurisasi akan menginaktifasi enzim, membunuh mikroorganisme patogen (penyebab peyakit) dan sebagian mikroorganisme pembusuk.
Beberapa reaksi penyebab kerusakan pangan dipicu oleh oksigen. Reaksi kimiawi seperti oksidasi lemak (ketengikan) yang terjadi pada minyak sayur, biji-bijian, buah-buahan, sayuran, susu, daging dan reaksi pencoklatan pada buah dan sayur dapat diperlambat dengan mengurangi kehadiran oksigen.
Penggunaan pengawet dengan konsentrasi rendah dan proses fermentasi juga merupakan cara yang dapat dilakukan untuk pengawetan temporer. Gula, garam, asam dan SO2 menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Asam laktat yang dihasilkan selama proses fermentasi akan menghambat pertumbuhan kapang dan kamir.
Pemaparan pangan dengan radiasi elektromagnetik bisa merusak atau menghambat beberapa mikroorganisme dan sistim enzim alami tanpa perubahan nyata pada kualitas produk.
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk pengawetan jangka panjang adalah pemanasan pada suhu tinggi (≥100°C), penggunaan pengawet kimia, pengeringan, pengeluaran udara (pemvakuman), pembekuan dan kombinasi proses.
Pemanasan pada suhu tinggi yang dilakukan bersama-sama dengan pengemasan yang bisa mencegah rekontaminasi, dapat menghambat/merusak mikroorganisme dan enzim.
Penggunaan gula atau garam dengan konsentrasi yang tinggi akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan reaksi enzimatis, seperti yang dilakukan pada pembuatan jeli dan dendeng. Pengawet alami seperti etanol, asam asetat dan asam laktat yang dihasilkan oleh mikroorganisme terpilih selama proses fermentasi bisa menghambat pertumbuhan mikroorga-nisme pembusuk. Penambahan pengawet seperti asam benzoat dan asam propionat juga berfungsi menghambat mikroorganisme secara selektif.
Proses pengeringan akan mengeluarkan air dan menyebabkan peningkatan konsentrasi padatan terlarut didalam bahan pangan. Kondisi ini akan meningkatkan tekanan osmotik didalam bahan, sehingga menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan memperlambat laju reaksi kimia maupun enzimatis.
Penghilangan udara akan mengeluarkan semua oksigen sehingga mencegah berlangsungnya reaksi kimiawi dan enzimatis yang dipicu oleh oksigen, juga menghambat pertumbuhan mikroorganisme aerobik.
Perlakuan pembekuan (freezing) secara signifikan akan memperlambat laju reaksi kimiawi dan enzimatis serta menghambat aktivitas mikroorganisme.
Proses pengawetan biasanya dilakukan dengan mengkombinasikan beberapa metode pengawetan. Sebagai contoh, pembuatan susu pasteurisasi yang ditujukan untuk
pengawetan jangka pendek dilakukan dengan kombinasi proses pemanasan ringan
(pasteurisasi), pengemasan dan penyimpanan pada suhu rendah (refrigerasi).
Proses pengalengan yang ditujukan untuk pengawetan jangka panjang, dilakukan dengan melibatkan proses pengeluaran udara, pengemasan, pengaturan pH dan penggunaan suhu tinggi (sterilisasi). Juga penting diperhatikan penggunaan wadah (container) dan kemasan yang dapat melindungi produk dari mikroorganisme untuk menghindari terjadinya rekontaminasi selama penyimpanan.
sebagai berikut:
1).pertumbuhan mikroba yang menggunakan pangan sebagai substrat untuk memproduksi toksin didalam pangan;
2).katabolisme dan pelayuan (senescence) yaitu proses pemecahan dan pematangan yang dikatalisis enzim
indigenus;
3).reaksi kimia antar komponen pangan dan/atau bahan-bahan lainnya dalam lingkungan penyimpanan;
4).kerusakan fisik oleh faktor lingkungan (kondisi proses maupun penyimpanan) dan
5).Kontaminasi serangga, parasit dan tikus.
Agar dapat berjalan, setiap reaksi kimiawi dan enzimatis membutuhkan kondisi lingkungan yang optimum (misalnya suhu, pH, konsentrasi garam, ketersediaan air, kofaktor dan faktor lainnya). Sebagai contoh, mikroorganisme memerlukan semua kondisi yang optimum untuk berlangsungnya reaksi kimiawi dan enzimatis, dan juga membutuhkan karbon, sumber nitrogen, beragam mineral, dan ada atau tidak ada oksigen (aerobik/anaero-bik), beberapa vitamin dan sebagainya. Sehingga: untuk mengontrol kerusakan kita harus membuat kondisi yang dapat menghambat terjadinya reaksi yang tidak dikehendaki. Secara umum, penyebab utama kerusakan produk susu, daging dan unggas adalah mikroorganisme sementara penyebab utama kerusakan buah dan sayur pada tahap awal adalah proses pelayuan (senescence) dan pengeringan (desiccation) yang kemudian diikuti oleh aktivitas mikroorganisme.
Prinsip pengawetan pangan ada tiga, yaitu:
1). Mencegah atau memperlambat kerusakan mikrobial;
2). Mencegah atau memperlambat laju proses dekomposisi (autolisis) bahan pangan; dan
3). Mencegah kerusakan yang disebabkan oleh faktor lingkungan termasuk serangan hama. Mencegah atau memperlambat
kerusakan mikrobial dapat dilakukan dengan cara:
a). mencegah masuknya mikroorganisme (bekerja dengan aseptis);
b). mengeluarkan mikroorganisme, misalnya dengan proses filtrasi;
c). menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme, misalnya dengan penggunaan suhu rendah, pengeringan,
penggunaan kondisi anaerobik atau penggunaan pengawet kimia;
d). membunuh mikroorganisme, misalnya dengan sterilisasi atau radiasi.
Mencegah atau memperlambat laju proses dekomposisi (autolisis) bahan pangan dapat dilakukan dengan cara destruksi atau inaktivasi enzim pangan, misalnya dengan proses blansir dan atau dengan memperlambat reaksi kimia, misalnya mencegah reaksi oksidasi dengan penambahan anti oksidan.
Pengolahan (pengawetan) dilakukan untuk memperpanjang umur simpan (lamanya suatu produk dapat disimpan tanpa mengalami kerusakan) produk pangan. Proses pengolahan apa yang akan dilakukan, tergantung pada berapa lama umur simpan produk yang diinginkan, dan berapa banyak perubahan mutu produk yang dapat diterima. Berdasarkan target waktu pengawetan, maka pengawetan dapat bersifat jangka pendek atau bersifat jangka panjang.
Pengawetan jangka pendek dapat dilakukan dengan beberapa cara misalnya penanganan aseptis, penggunaan suhu rendah (<20°C), pengeluaran sebagian air bahan, perlakuan panas ‘ringan’, mengurangi keberadaan udara, penggunaan pengawet dalam konsentrasi rendah, fermentasi, radiasi dan kombinasinya.
Penanganan aseptis merupakan proses penanganan yang dilakukan dengan mencegah masuknya kontaminan kimiawi dan mikroorganisme kedalam bahan pangan, atau mencegah terjadinya kontaminasi pada tingkat pertama. Penanganan produk dilakukan untuk mencegah kerusakan produk yang bisa menyebabkan terjadinya pengeringan (layu), pemecahan enzim alami dan masuknya mikroorganisme.
Penggunaan suhu rendah bertujuan untuk memperlambat laju reaksi kimia, reaksi enzimatis dan pertumbuhan mikroorganisme tanpa menyebabkan kerusakan produk.
Beberapa perubahan kimia seperti terjadi pada tepung, sereal, biji-bijian, minyak
disebabkan oleh keberadaan air. Air dibutuhkan mikroorganisme untuk mempertahankan hidupnya. Pengeluaran sebagian kandungan air bahan melalui proses pemekatan atau pengeringan akan menurunkan laju reaksi kimiawi, enzimatis maupun mikrobial.
Perlakuan panas ringan (pasteurisasi dan blansir) dilakukan pada suhu <100°C. Proses blansir akan merusak sistem enzim dan membunuh sebagian mikroorganisme. Tetapi, sebagian besar mikroorganisme tidak dapat dihancurkan oleh proses blansir. Pasteurisasi menggunakan intensitas suhu dan waktu pemanasan yang lebih besar daripada blansir. Pasteurisasi akan menginaktifasi enzim, membunuh mikroorganisme patogen (penyebab peyakit) dan sebagian mikroorganisme pembusuk.
Beberapa reaksi penyebab kerusakan pangan dipicu oleh oksigen. Reaksi kimiawi seperti oksidasi lemak (ketengikan) yang terjadi pada minyak sayur, biji-bijian, buah-buahan, sayuran, susu, daging dan reaksi pencoklatan pada buah dan sayur dapat diperlambat dengan mengurangi kehadiran oksigen.
Penggunaan pengawet dengan konsentrasi rendah dan proses fermentasi juga merupakan cara yang dapat dilakukan untuk pengawetan temporer. Gula, garam, asam dan SO2 menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Asam laktat yang dihasilkan selama proses fermentasi akan menghambat pertumbuhan kapang dan kamir.
Pemaparan pangan dengan radiasi elektromagnetik bisa merusak atau menghambat beberapa mikroorganisme dan sistim enzim alami tanpa perubahan nyata pada kualitas produk.
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk pengawetan jangka panjang adalah pemanasan pada suhu tinggi (≥100°C), penggunaan pengawet kimia, pengeringan, pengeluaran udara (pemvakuman), pembekuan dan kombinasi proses.
Pemanasan pada suhu tinggi yang dilakukan bersama-sama dengan pengemasan yang bisa mencegah rekontaminasi, dapat menghambat/merusak mikroorganisme dan enzim.
Penggunaan gula atau garam dengan konsentrasi yang tinggi akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan reaksi enzimatis, seperti yang dilakukan pada pembuatan jeli dan dendeng. Pengawet alami seperti etanol, asam asetat dan asam laktat yang dihasilkan oleh mikroorganisme terpilih selama proses fermentasi bisa menghambat pertumbuhan mikroorga-nisme pembusuk. Penambahan pengawet seperti asam benzoat dan asam propionat juga berfungsi menghambat mikroorganisme secara selektif.
Proses pengeringan akan mengeluarkan air dan menyebabkan peningkatan konsentrasi padatan terlarut didalam bahan pangan. Kondisi ini akan meningkatkan tekanan osmotik didalam bahan, sehingga menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan memperlambat laju reaksi kimia maupun enzimatis.
Penghilangan udara akan mengeluarkan semua oksigen sehingga mencegah berlangsungnya reaksi kimiawi dan enzimatis yang dipicu oleh oksigen, juga menghambat pertumbuhan mikroorganisme aerobik.
Perlakuan pembekuan (freezing) secara signifikan akan memperlambat laju reaksi kimiawi dan enzimatis serta menghambat aktivitas mikroorganisme.
Proses pengawetan biasanya dilakukan dengan mengkombinasikan beberapa metode pengawetan. Sebagai contoh, pembuatan susu pasteurisasi yang ditujukan untuk
pengawetan jangka pendek dilakukan dengan kombinasi proses pemanasan ringan
(pasteurisasi), pengemasan dan penyimpanan pada suhu rendah (refrigerasi).
Proses pengalengan yang ditujukan untuk pengawetan jangka panjang, dilakukan dengan melibatkan proses pengeluaran udara, pengemasan, pengaturan pH dan penggunaan suhu tinggi (sterilisasi). Juga penting diperhatikan penggunaan wadah (container) dan kemasan yang dapat melindungi produk dari mikroorganisme untuk menghindari terjadinya rekontaminasi selama penyimpanan.
METODE PENGAWETAN BUAH SEGAR
Dec.08, 2011 in Pengetahuan
Umum, Tips
dan Triks Usaha, Umum
Banyak
artikel telah mengulas bagaimana cara serta metode yang ditempuh untuk
mendapatkan hasil produksi tanaman baik buah-buahan ataupun sayuran dengan
kualitas prima. Namun demikian buah-buahan tersebut memerlukan waktu selama
proses pengiriman ataupun penyimpanan sebelum sampai ke tangan konsumen. Pada
kenyataannya tidak semua jenis buah memiliki masa simpan yang lama atau banyak
yang mudah busuk, oleh karena hal tersebut diperlukan langkah-langkah
pengawetan agar buah tetap terjaga kesegarannya sampai waktunya di konsumsi. Artikel
berikut ini akan mengulas cara-cara atau metode pengawetan yang dapat
diterapkan untuk buah segar. Semoga bermanfaat !
Setelah
dipanen, produk hasil pertanian tetap melakukan proses fisiologis sehingga
dapat disebut sebagai jaringan yang masih hidup. Adanya aktivitas fisiologis
menyebabkan produk pertanian akan terus mengalami perubahan yang tidak dapat
dihentikan, hanya dapat diperlambat sampai batas tertentu. Tahap akhir dari
perubahan pasca panen adalah kelayuan untuk produk nabati atau pembusukan pada
produk hewani.
Faktor-faktor
biologis terpenting yang dapat dihambat pada bahan nabati seperti buah-buahan
dan sayuran adalah : respirasi, produksi etilen, transpirasi, dan faktor
morfologis/anatomis, faktor lain yang juga penting untuk diperhatikan adalah
senantiasa menghindarkan komoditi terhadap suhu atau cahaya yang berlebihan,
dan kerusakan patologis atau kerusakan fisik.
BEBERAPA
METODE PENGAWETAN BUAH SEGAR
Penelitian-penelitian
mengenai penyimpanan buah bertujuan untuk mencapai umur simpan semaksimal
mungkin. Untuk itu biasanya dilakukan kombinasi beberapa perlakuan.Usaha yang
dapat dilakukan untuk dapat memperlambat pematangan buah dan sayur adalah
memperlambat respirasi dan menangkap gas etilen yang terbentuk. Beberapa cara
yang dapat diterapkan antara lain pendinginan, pembungkusan dengan polietilen
dan penambahan bahan kimia.
PENDINGINAN
·
Penyimpanan di bawah suhu 15°C dan di alas titik beku bahan
dikenal sebagai penyimpanan dingin (chilling storage).
·
Penyimpanan buah-buahan dan sayur-sayuran memerlukan temperatur
yang optimum untuk mempertahankan mutu dan kesegaran. Temperatur optimum dapat
menyebabkan kerusakan karena pendinginan (chilling injury). Kerusakan
pendinginan dari buah pisang pada temperatur kritis (13°C) adalah warna kusam, perubahan
cita rasa dan tidak bisa masak. Kondisi optimum pengundangan bagi buah pisang
adalah 11-20°C dan RH 85-95 persen. Pada kondisi ini metabolisme oksidatif
seperti respirasi berjalan lebih sempurna. Pendinginan tidak mempengaruhi
kualitas rasa, kecuali bila buah didinginkan secara berlebihan sehingga proses
pematangan terhenti.
PENGEMASAN
DENGAN POLIETILEN (PE)
·
Kehilangan air dapat dikurangi dengan jalan memberi pembungkus
pada bahan yang akan didinginkan. Salah satu jenis pembungkus yang cukup baik
digunakan adalah pembungkus dari bahan plastik.
·
Berdasarkan penelitian Scott dan Robert (1987) penyimpanan pisang
yang masih hijau dalam kantong polietilen dapat memperlambat pematangan pisang
selama 6 hari pada suhu 20°C.
PENGGUNAAN
KALIUM PERMANGANAT (KMNO4)
·
Dari hasil penelitian di Malaysia ternyata buah pisang Mas
memerlukan zat penyerap etilen dan perlu disimpan dalam unit pendingin agar
tahan tetap hijau sampai 6 minggu. Macam-macam bentuk penyerap etilen telah
dicoba, seperti blok campuran vermiculate dan semen dengan perbandingan 3 : 1
yang dicelupkan dalam larutan KMn04 dapat dipergunakan sebagai bahan penyerap
etilen, atau blok-blok campuran lempeng dan semen yang dicelup larutan KMnO4.
·
Suatu preparasi komersial zat penyerap yang disebut pure’ (KMnO4
alkalis dengan silikat) sebagai pendukung (carrier) yang dihasilkan oleh Marbon
Chemical Company, ternyata mampu menyerap keseluruhan etilen yang dikeluarkan
oleh buah pisang yang disimpan dalam kantong polietilen tertutup rapat. Dalam
penelitian pengawetan pisang Ambon yang dilakukan dengan menggunakan KMnO4 1.5
persen dengan penyimpanan selama 14 hari mutu pisang masih tetap baik.
·
Penggunaan KMnO4 dianggap mempunyai potensi yang paling besar karena
KMnO4 bersifat tidak menguap sehingga dapat disimpan berdekatan dengan buah
tanpa menimbulkan kerusakan buah.
METODA
PENGAWETAN DENGAN KMNO4 ATAU PK
1.
Rendam batu apung dalam larutan KMnO4 lewat jenuh selama 30 menit,
lalu kering anginkan hingga benar-benar kering, kemudian dibungkus dengan kain
saring (1- 3 butir batu Nap bungkus).
2.
Potong pisang dari tandannya, masing-masing 2- 3 jari pisang. Lalu
cuci hingga bersih di lap sampai kering.
3.
Timbang lalu letakkan pisang dan batu apung dalam baki styrofoam
usahakan keduanya tidak bersentuhan, lapisi dengan wrapping film dan panaskan
sebentar hingga lapisan film ini kencang.
4.
Lubangi bagian atas film dengan jarum setiap 2 cm untuk ventilasi.
5.
Penyimpanan dapat dilakukan pada suhu kamar atau suhu dingin 14°C
(misainya untuk pisang) dan suhu refrigerasi atau 4°C untuk paprika.
6.
Pengamatan untuk melihat sampai berapa lama buah dapat dijaga
kesegarannya dapat dilakukan terhadap perubahan berat, warna dan kekerasan
setiap 2 hari sekali.
PENDINGINAN
·
Penyimpanan di bawah suhu 15°C dan di alas titik beku bahan
dikenal sebagai penyimpanan dingin (chilling storage).
·
Penyimpanan buah-buahan dan sayur-sayuran memerlukan temperatur
yang optimum untuk mempertahankan mutu dan kesegaran. Temperatur optimum dapat
menyebabkan kerusakan karena pendinginan (chilling injury). Kerusakan
pendinginan dari buah pisang pada temperatur kritis (13°C) adalah warna kusam,
perubahan cita rasa dan tidak bisa masak. Kondisi optimum pengundangan bagi
buah pisang adalah 11-20°C dan RH 85-95 persen. Pada kondisi ini metabolisme
oksidatif seperti respirasi berjalan lebih sempurna. Pendinginan tidak
mempengaruhi kualitas rasa, kecuali bila buah didinginkan secara berlebihan
sehingga proses pematangan terhenti.