Kamis, 28 Juni 2012

Amalan Tanpa Ilmu Laksana Fatamorgana


(ditulis oleh: Ibnu Qayyim al-Jauziyyah)
Allah l berfirman,
“Orang-orang kafir, amal-amal mereka laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi apabila didatangi ‘air’ itu, dia tidak mendapati apa pun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya. Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih. Apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barang siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.” (an-Nur: 39—40)Allah l menyebutkan dua permisalan untuk orang-orang kafir, permisalan fatamorgana dan permisalan kegelapan yang bertumpuk-tumpuk. Ini karena orang-orang yang berpaling dari petunjuk dan kebenaran itu ada dua macam. Salah satunya adalah seseorang yang mengira bahwa dirinya di atas suatu kebenaran, lalu menjadi jelas baginya saat terbukti hakikatnya berbeda dengan apa yang dia kira. Inilah kondisi orang-orang yang bodoh dan kondisi para pengikut bid’ah. Mereka mengira bahwa mereka berada di atas petunjuk dan ilmu. Ketika hakikatnya tersingkap, menjadi jelas bagi mereka bahwa ternyata mereka tidak berada di atas petunjuk. Mereka juga tahu, keyakinan dan amal mereka yang berasal dari ilmu mereka, hanya fatamorgana yang berada di tanah datar, yang terlihat oleh mata yang memandangnya sebagai air padahal tiada nyatanya.
Demikian pula amalan-amalan yang bukan karena Allah l dan tidak berlandaskan perintah-Nya. Si pelaku menyangkanya bermanfaat baginya, padahal tidak demikian. Amalan inilah yang dikatakan oleh Allah l,
“Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (al-Furqan: 23)Coba perhatikan, bagaimana Allah l menjadikan fatamorgana itu di atas tanah yang datar lagi kosong, tidak ada bangunan, pepohonan, dan tumbuhan. Di situlah tempat terjadinya fatamorgana: tanah yang kosong, tidak ada sesuatu. Memang, fatamorgana itu sesuatu yang tidak ada nyatanya. Permisalan ini sesuai dengan amalan dan kalbu mereka yang kosong dari iman dan hidayah.
Perhatikanlah firman-Nya,
“Orang yang dahaga menyangkanya air….”
Artinya, ketika orang yang sangat dahaga melihat fatamorgana, mengiranya sebagai air sehingga ia mengejarnya. Tetapi, ternyata ia tidak mendapatkan apa-apa. Fatamorgana itu menipunya di saat ia sangat membutuhkan air. Demikian juga keadaan mereka. Ketika amal mereka bukan karena taat kepada Rasul n dan bukan karena Allah l, amal mereka dijadikan laksana fatamorgana. Amalan itu akan ditampakkan kepada mereka saat mereka sangat kehausan dan sangat membutuhkannya, namun mereka tidak mendapatkan apa-apa. Mereka justru mendapati Allah l yang akan membalasi amal mereka dan akan memenuhi hisab mereka.
Dalam sebuah hadits tentang hari kiamat dalam kitab ash-Shahih, dari hadits sahabat Abu Sa’id al-Khudri z, dari Nabi
“Lalu didatangkan Jahannam dan ditampakkan laksana fatamorgana. Dikatakan kepada Yahudi, ‘Apa yang kalian sembah?’ Mereka mengatakan ‘Kami dahulu menyembah Uzair, putra Allah.’ Lantas dikatakan kepada mereka, ‘Kalian berdusta. Allah tidak memiliki istri dan anak, lantas apa yang kalian maukan sekarang?’ Mereka menjawab, ‘Kami menginginkan Engkau beri kami minum.’ Dikatakan kepada mereka, ‘Minumlah!’ Akhirnya mereka berjatuhan di Jahannam. Kemudian dikatakan kepada orang-orang Nasrani, ‘Apa yang kalian sembah?’ Mereka menjawab, ‘Kami menyembah al-Masih, putra Allah.’ Dikatakan kepada mereka, ‘Kalian dusta. Allah l tidak memiliki istri atau anak, lantas apa yang kalian inginkan?’ Mereka menjawab, ‘Kami menginginkan Engkau memberi kami minum.’ Dikatakan kepada mereka, ‘Minumlah!’ Akhirnya mereka berjatuhan….”
Inilah kondisi setiap pelaku kebatilan. “Kebaikan” mereka akan mengkhianati mereka saat mereka sangat membutuhkannya, karena kebatilan itu tidak ada nyatanya. Sama dengan namanya, batil (yang dalam bahasa Arab berarti ‘sesuatu yang akan lenyap’), jika sebuah keyakinan tidak sesuai dengan (tuntunan) dan tidak benar, yang terkait dengannya juga batil.
Demikian pula jika tujuan sebuah amalan itu batil, seperti beramal karena selain Allah l atau tidak di atas perintah-Nya, amalnya batil dengan sebab kebatilan tujuannya. Pelakunya akan merasa celaka karena sia-sianya amal tersebut. Ia justru akan mendapatkan kebalikan dari apa yang dia angan-angankan… Ia tersiksa dengan lenyapnya manfaat amalannya dan perolehan yang sebaliknya. Oleh karena itu, Allah l berfirman,
“Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (an-Nur: 39)
Inilah permisalan seseorang yang dia mengira dirinya berada di atas petunjuk.
Macam yang kedua, adalah pemilik permisalan kegelapan yang bertumpuk-tumpuk. Mereka adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran dan petunjuk, namun lebih mengutamakan kegelapan kebatilan dan kesesatan daripada kebenaran tersebut. Akhirnya, menumpuklah kegelapan tabiatnya, kegelapan jiwanya, kegelapan kebodohannya, dan kegelapan kesesatan serta hawa nafsu, yang mereka tidak mengamalkan ilmu mereka sehingga mereka menjadi bodoh.
Keadaan mereka laksana seseorang yang berada di lautan yang dalam lagi tidak bertepi, sementara itu ombak meliputinya. Di atas ombak itu ada ombak lagi. Di atasnya lagi ada awan yang gelap. Jadilah ia berada di kegelapan lautan, kegelapan ombak, dan kegelapan awan. Ini seperti kegelapan yang ia berada padanya. Kegelapan yang Allah l tidak mengeluarkannya darinya menuju cahaya iman.
Dua permisalan ini, permisalan fatamorgana yang dia kira sumber kehidupan, yaitu air, dan permisalan kegelapan-kegelapan yang berlawanan dengan cahaya, mirip dengan permisalan orang-orang munafik dan orang-orang mukmin, yaitu permisalan air dan api. Allah l menjadikan bagian bagi mukminin dari keduanya adalah kehidupan dan cahayanya, sedangkan bagian untuk munafik adalah kegelapan yang merupakan lawan dari cahaya dan kematian yang merupakan lawan dari kehidupan.
Demikian juga orang-orang kafir dalam dua permisalan ini. Bagian mereka hanyalah fatamorgana yang menipu orang yang melihatnya—sesuatu yang tidak ada kenyataannya—dan bagian mereka adalah kegelapan-kegelapan yang berlapis-lapis.
Bisa jadi, maksud ayat ini adalah keadaan salah satu dari kelompok-kelompok orang kafir. Mereka kehilangan sumber kehidupan dan cahaya karena mereka berpaling dari wahyu. Oleh karena itu, dua permisalan ini adalah untuk satu golongan.
Namun, bisa jadi pula, maksudnya adalah macam-macam keadaan orang kafir. Permisalan pertama adalah mereka yang beramal tanpa ilmu, hanya dengan kebodohan dan baik sangka terhadap para pendahulu (nenek moyangnya). Mereka mengira telah berbuat baik. Adapun permisalan kedua adalah bagi yang lebih menyukai kesesatan daripada petunjuk dan mendahulukan yang batil daripada yang haq. Mereka buta padahal sebelumnya melihatnya. Mereka pun mengingkari padahal sebelumnya mengetahui. Inilah keadaan orang-orang yang dimurkai. Adapun yang pertama adalah keadaan orang-orang yang sesat.
(diterjemahkan dan disusun dari beberapa buku Ibnul Qayyim, oleh Qomar Suaidi)

GOLONGAN PENGHUNI AL JANNAH TANPA HISAB DAN TANPA ADZAB


Diantara rukun iman yang wajib untuk diimani oleh kaum mukminin  adalah  beriman  kepada  hari  akhir.  Bahwa  segala yang  ada  di  dunia  ini  adalah  fana  dan  tiada  yang  kekal,  tapi bukan  berarti  telah  berakhir  sampai  disini.  Tapi  menuju  ke alam  berikutnya  yaitu  hari  akhir,  suatu  kehidupan  yang  kekal 
tiada berakhir. Semua  jiwa  pasti  akan  kembali  kepada  pemilik  dan penciptanya  yaitu  Allah  .  Setelah  ditiup  sangkakala  yang kedua  seluruh  manusia  dibangkitkan  dari  kuburan-kuburan 
mereka  dalam  keadaan  tidak  membawa  apa  pun,  tidak beralas  kaki,  tidak  berbusana,  dan  juga  tidak  berkhitan. Sebagaimana  hadits  yang  diriwayatkan  Aisyah,  bahwa baginda Rasulullah   bersabda: 

“Manusia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan tidak  beralas  kaki,  tidak  berbusana,  dan  tidak  berkhitan.” Kemudian Aisyah berkata: “Wahai Rasulullah! Apakah seluruh para  wanita  dan  laki-laki  seperti  itu,  sehingga  saling  melihat diantara mereka? Beliau   menjawab: 

“Wahai  Aisyah!  Kondisi  waktu  itu  amat  ngeri  dari  pada sekedar  melihat  antara  satu  dengan  lainnya.”  (H.R.  Al Bukhari no 6527 dan Muslim no. 2859) 
Setelah  itu  manusia  dikumpulkan  di  padang  mahsyar menanti  penghisaban  (perhitungan)  semua  amal 
perbuatannya  selama  hidup  di  dunia.  Allah    berfirman (artinya):  “Sesungguhnya  kepada  Kami-lah  mereka  akan kembali,  kemudian  sesungguhnya  kewajiban  Kami-lah menghisab mereka.” (Al Ghasyiyah: 25-26) Tahap  penghisaban  amal  perbuatan  manusia  dipadang mahsyar  merupakan  bagian  adzab  dari  Allah    terhadap siapa yang dihisap pada hari itu. Rasulullah   bersabda:  
“Barangsiapa  yang  dihisab  pada  hari  kiamat  berarti  dia  telah merasakan adzab.”  
Aisyah  berkata:  “Wahai  Rasulullah    bukankah  Allah   telah  berfirman  (artinya):  “(Adapun  orang  yang  diberikan kitabnya  dari  sebelah  kanan)  maka  dia  akan  dihisab  dengan hisab  yang  mudah.”  (Al  Insyiqaq:  8)  Rasulullah   menjawab: 
“Sesungguhnya  itu  adalah  sekedar  memperlihatkan amalannya,  tetapi  barangsiapa  yang  diperiksa 
penghisabannya pada hari kiamat berarti dia telah merasakan adzab.” (H.R. Muslim no. 2876) 
Pada  hari  penghisaban  saja  sangat  mengerikan  dan tersiksa.  Bagaimana  lagi  dengan bentuk  adzab  dari  Allah   di  neraka  jahannam  nanti.  Rasulullah    telah menggambarkan  tingkatan  neraka  yang  paling  ringan, sebagaimana dalam hadits yang shahih:  
“Sesungguhnya  adzab  yang  paling  ringan  bagi  penghuni neraka  adalah  seseorang  yang  bersandalkan  dengan  api neraka,  maka  mendidihlah  otaknya  disebabkan  dari  panas kedua sandalnya.” (H.R. Muslim no. 211) Namun Allah   Al Ghaffur (Yang Maha Pengampun) dan Ar  Rahim  (Yang  Maha  Pengasih)  telah  membentangkan rahmat-Nya  yang  amat  luas.  Diantara  rahmat  Allah    telah memberikan  petunjuk  kepada  manusia  tentang  jalan  yang dapat  mengantarkan  ke  dalam  al  janah  tanpa  hisab  dan adzab.  Jalan  tersebut  telah  dijelaskan  oleh  Rasulullah   dalam haditsnya:  
“Akan  masuk  al  jannah  dari  umatku  tujuh  puluh  ribu  tanpa hisab  dan  adzab  (dalam  riwayat  lain;  wajah-wajah  mereka bercahaya bagaikan cahaya rembulan di bulan purnama.” Kemudian  Rasulullah    berdiri  dan  masuk  ke  dalam rumah.  Sementara  para  shahabat  Rasulullah  menduga-duga  siapakah  golongan  mereka  itu.  Diantara  para  shahabat ada  yang  menduga;  “Semoga  mereka  adalah  orang-orang yang  menjadi  shahabatnya”.  Yang  lainnya  mengira;  “Semoga mereka  adalah  orang-orang  yang  lahir  dalam  keadaan  Islam dan tidak pernah berbuat kesyirikan”, dan perkiraan-perkiraan yang  lainnya.  Kemudian  Rasulullah    keluar  dari  rumahnya dan  mengkhabarkan  sifat  golongan  yang  bakal  menjadi 
penghuni  al  jannah  tanpa  hisab  dan  adzab.  Beliau   bersabda:  

“Mereka  itu  adalah  orang-orang  yang  tidak  meminta  kay (praktek  pengobatan  dengan  menempelkan  besi  panas  atau semisalnya  pada  bagian  tubuh  yang  sakit),  tidak  meminta ruqyah,  dan  tidak  pula  berfirasat  sial  (dengan  sebab  melihat sesuatu yang disangka ganjil seperti burung dan semisalnya), 
serta mereka bertawakkal penuh kepada Rabb mereka.”
Kemudian  Ukasyah  bin  Mihshan  berdiri  seraya  berkata: “(Wahai  Rasulullah)  berdo’alah  kepada  Allah  supaya  aku termasuk  golongan  mereka.  Rasulullah    bersabda: “Engkau  termasuk  dalam  golongan  tersebut.”  (H.R.  Al Bukhari no. 5752 dan Muslim no. 374) 
Dalam  riwayat  Al  Imam  Ahmad  2/359  dan  lainnya,
Rasulullah   bersabda:
“Maka  aku  meminta  tambahan  dari  Rabb-ku,  sehingga  Allah menambah  dalam  setiap  seribu  orang  bersama  tujuh  puluh ribu orang.” (Lihat Ash Shahihah no. 1486) 
Dalam  riwayat  di  atas  menunjukkan  luasnya  rahmat Allah  .  Karena  Allah    telah  menambah  dalam  setiap seribu  orang  bersama  tujuh  puluh  ribu  orang.  Demikian  pula Allah  tidak  mengkhususkan  yang  berhak  meraih  keutamaan tersebut hanya bagi para shahabat Rasulullah   atau orang yang  yang  lahir  dalam  keadaan  Islam  dan  tidak  pernah berbuat  kesyirikan  sebagaimana  yang  dikira  para  shahabat 
Rasulullah  .  Namun  Allah    membuka  lebar-lebar  pintu rahmat  kepada  siapa  yang  berupaya  menghiasi  dirinya dengan  sifat-sifat  tersebut  dia  lah  yang  berhak  meraih  al jannah  tanpa  hisab  dan  tanpa  adzab.  Semoga  Allah   menjadikan kita termasuk golongan mereka. Ciri  Ciri  Golongan  Penghuni  Al  Jannah  Tanpa  Hisab  Dan Adzab 1. Tidak Meminta Kay 
Kay  adalah  praktek  pengobatan  dengan  cara menempelkan  besi  atau  semisalnya  yang  telah  dipanaskan pada bagian tubuh yang sakit. Telah datang beberapa riwayat dari  Rasulullah    dengan  sanad  yang  shahih  bahwa Rasulullah   sendiri pernah melakukan praktek pengobatan dengan  mengkay  shahabat  As’ad  bin  Zurarah    (dalam riwayat  At  Tirmidzi  no.  2050).  Tetapi  Rasulullah    juga bersabda:   
“Penyembuhan  itu  dengan  tiga  hal:  minum  madu,  berbekam, dan  kay,  tetapi  aku  melarang  umatku  dari  pengobatan  kay. Dalam  riwayat  lain;  Dan  aku  tidak  mencintai  pengobatan dengan kay. ” (H.R. Al Bukhari no. 5680) Hadits-hadits  di  atas  menunjukkan  hukum  pengobatan dengan  kay  adalah  boleh  tapi  makruh  (dibenci),  sehingga yang  lebih  utama  adalah  ditinggalkan.  Karena Rasulullah   
mencintai  umatnya  untuk  meniggalkan  pengobatan  dengan cara  kay.  Terlebih  lagi  berobat  dengan  kay  bisa  menjadi penghalang untuk masuk ke dalam al jannah tanpa hisab dan adzab. 
2. Tidak Meminta Ruqyah
Ruqyah  adalah  praktek  pengobatan  dengan membacakan  ayat-ayat  Al  Qur’an  atau nama-nama  dan  sifat-sifat-Nya  kepada  si  penderita.  Karena  seluruh  ayat-ayat  Al Qur’an itu sebagai obat hati dan jasmani. Allah   berfirman (artinya):  “Dan  Kami  menurunkan  Al  Qur’an  itu  sebagai  obat 
dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Al Isra’: 82) Namun  yang  menjadi  penghalang  untuk  masuk  bagian dari  golongan  penghuni  al  jannah  tanpa  hisab  dan  adzab  ini khusus  bagi  orang  yang  meminta  ruqyah  bukan  yang meruqyah  dirinya  sendiri  ataupun  orang  lain  yang meruqyahnya  tanpa  ada  unsur  permintaan  darinya.  Adapun kalau  dia  sendiri  meruqyah  itu  memang  perkara  yang  lebih 
 utama,  karena dia  telah  bertawakkal  penuh  kepada Allah   dan  menjauhkan  dirinya  dari  bergantung  kepada  selain  Allah .  Demikian  pula  orang  lain  yang  meruqyah  tanpa  unsur permintaan  dari  si  penderita  itu  pun  tidak  mengapa.  Karena konteks  hadits  itu  adalah  ﹶﻥﻮﹸﻗﺮﺘﺴﻳ ﹶﻻﻭ  yang  bermakna  tidak meminta ruqyah. Sesungguhnya  malaikat  Jibril  pernah  datang  kepada Rasulullah    lalu  berkata:  “Wahai  Muhammad,  apakah engkau  lagi  sakit?  Rasulullah    menjawab:  “Ya.  Kemudian 
malaikat  Jibril  meruqyahnya  tanpa  permintaan  dari  nabi  . (H.R. Muslim no. 2186) 
Rasulullah    juga  pernah  ditanya  tentang  meruqyah, maka beliau   bersabda: 
ﹾﻞﻌﹾﻔﻴﹾﻠﹶﻓ ﻩﺎﺧﹶﺃ ﻊﹶﻔﻨﻳ ﹾﻥﹶﺃ ﻢﹸﻜﻨِﻣ ﻉﺎﹶﻄﺘﺳﺍ ِﻦﻣ
“Barangsiapa diantara kalian yang dapat memberikan manfaat bagi saudaranya, maka lakukanlah.” (H.R. Muslim no. 2199) 3. Tidak Bertathayyur 
Tathayyur  adalah  sikap  berprasangka  sial  yang disandarkan  kepada  sesuatu  yang  dilihat  atau  pun  yang didengar.  Misalnya,  kebiasaan  orang  Arab  terdahulu  bila hendak  safar  (berpergian)  melihat  arah  terbangnya  burung. Bila  terbang  ke  arah  kanan  maka  safar  akan  dilakukan, sebaliknya  bila  terbang  ke  arah  kiri  menujukkan  kesialan maka  safar  dibatalkan.  Begitu  pula  ada  sebagian  orang  yang 
menganggap  sial  atau  pertanda  akan  ada  musibah  bila mendengar  suara  burung  gagak  di  malam  hari  atau  bila melihat  cecak  jatuh.  Diantara  waktu-waktu,  hari-hari,  atau bulan-bulan pun ada yang dianggap sial untuk diselengarakan acara-acara  tertentu.  Dan  sebagainya  dari  tanda-tanda  yang dianggap sial yang tersebar dimasyarakat kita. 

Tathayyur  ini  merupakan  perbuatan  terlarang.  Karena telah  menyandarkan  kesialan  kepada  sesuatu  yang  sama sekali  tidak  ada  hubungannya  secara  logis  dan  sebab musababnya.  Termasuk  aqidah  kaum  muslimin  beriman kepada taqdir Allah  . Bahwa segala sesuatu yang terjadi di muka  bumi  ini  tarjadi  atas  kehendak  Allah    semata.  Bila Allah    menghendaki  sesuatu  pasti  akan  terjadi,  dan sebaliknya  bila  Allah    tidak  menghendaki  sesuatu  pasti tidak akan terjadi. Sehingga orang yang bertathayyur itu telah 
mengurangi  nilai  tawakkalnya  kepada  Allah    karena  ia menyangka  bahwa  ada  selain  Allah    yang  bisa mendatangkan  kesialan.  Padahal  Allah    berfirman (artinya):  “Ketahuilah,  sesungguhnya  kesialan  mereka  itu merupakan taqdir Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahuinya.” (Al A’raf: 131) 

4. Bertawakal Kepada Allah
Bahwa  sifat  yang  kempat  ini  merupakan  buah  dari  tiga sifat  sebelumnya.  Maksudnya,  dengan  meninggalkan pengobatan  kay,  meninggalkan  untuk  meminta  ruqyah  dan meninggalkan tathayyur menunjukkan kemurnian tawakkal dia kepada  Allah  .  Karena  dia  telah  melepas  dari  segala 
ikatan-ikatan ketergantungan kepada sesuatu selain Allah dan menyandarkan nasib dan hasilnya itu hanya kepada Allah  . Sehingga barangsiapa yang benar-benar bertawakkal kepad Allah  ,  niscaya  Allah    sebagai  pencukupnya  di  dunia dan  di  akhirat  kelak  nanti  akan  digolongkan  sebagai  pewaris 
al  jannah  tanpa  hisab  dan  tanpa  adzab.  Allah    berfirman (artinya):  
“Barangsiapa  yang  bertawakkal  kepada  Allah,  maka  Dia sebagai pencukup baginya.” (Ath Thalaq: 3) 
Para  pembaca,  bukan  berarti  Islam  melarang  untuk berobat.  Sesungguhnya  sifat  penghuni  al  jannah  tanpa  hisab dan adzab itu karena mereka meninggalkan pengobatan yang  dibenci  (makruh)  disaat  sangat  membutuhkannya  dengan mencukupkan  dirinya  untuk  bertawakkal  hanya  kepada  Allah 
.  Adapun  berobat  dengan  sesuatu  yang  tidak  dilarang maka tidak mengurangi tawakkal dia kepada Alah  . Ada  seseorang  yang  bertanya  kepada  Rasulullah  : 
“Wahai  Rasulullah    bolehkah  aku  berobat?  Rasulullah  seraya menjawab: 

“Tentu,  wahai  hamba  Allah  berobatlah  kalian.  Karena  Allah   tidak  menciptakan  penyakit  melainkan  pasti  diciptakan pula obatnya, kecuali satu penyakit.” Kemudian para shahabat bertanya:  “Apa  itu  (Wahai  Rasulullah)?  Rasulullah   menjawab:  “Penyakit  pikun  (karena  ketuaan).”  (H.R.  Ahmad, dishahihkan Asy Syaikh Al Albani dalam Ghayatul Maram hal. 147)  
Sumber :

 Diterbitkan oleh: Pondok Pesantren Minhajus Sunnah Kendari 
Jl. Kijang (Perumnas Poasia) Kelurahan Rahandouna.
Web Site: http://minhajussunnah.co.nr,
Penasihat: Al-Ustadz Hasan bin Rosyid, Lc
Redaksi:  Al-Ustadz Abu Jundi, Al Akh Abul Husain Abdullah 
 

Followers