Kamis, 16 Mei 2013

jadwal kajian Islam Ilmiah Ahlussunnah (Salafy) bengkulu

KOTA BENGKULU
1. Lokasi Masjid Brimobda Bengkulu
Waktu : Selasa, 18.30 – 20.00 WIB
Materi : Kitabut Tauhid
Pengajar : Ustadz Abu Jabir Husni Thamrin
Peserta : Ikhwan dan akhwat
2. Lokasi Masjid An Najmi – Depan POM Bensin Rawa Makmur
Waktu : Sabtu, 18.30 – 20.00 WIB
Materi : Al Aqidah Al Washitiyah
Pengajar : Ustadz Abu Jabir Husni Thamrin
Peserta : Ikhwan dan akhwat
3. Lokasi Masjid Desa Teluk Sepang
Waktu : Ba’da Maghrib
Materi : Durror Bahyah Fil Masa’il Fiqiyah
Pengajar : Ustadz Abdul Bar
Peserta : Ikhwan
4. Lokasi Masjid Desa Teluk Sepang
Waktu : Jam 09.00 – 12.00 WIB (Ahad ke- 4)
Materi : Kitabul Buyu’ dan taklim umum
Pengajar : Ustadz Abdul Bar
Peserta : Umum
KABUPATEN BENGKULU TENGAH
1. Lokasi Desa Talang Pauh (Di rumah ustadz)
Waktu : Ahad , 10.30 – 12.00 WIB
Materi : Nasihatin Lin Nisa
Pengajar : Ustadz Abu Jabir Husni Thamrin
Peserta : Akhwat
KABUPATEN BENGKULU UTARA
1. Lokasi Masjid Miftahul Huda Desa Marga Sakti Unit I Kec. Padang Jaya
Waktu : Kamis, 18.30 – 20.00 WIB
Materi : Ahkamul Janaiz- Bahjah – Tafsir As Sa’di,
Pengajar : Ustadz Abu Muhammad Zuhair Syarif
Peserta : Ikhwan
2. Lokasi Masjid Solo Unit IV Kec. Padang Jaya
Waktu : Jum’at, 18.30 – 20.00 WIB
Materi : Tsalatsatul Usul
Pengajar : Ustadz Abu Muhammad Zuhair Syarif
Peserta : Ikhwan
3. Lokasi Masjid Taqwa Terminal Arga Makmur
Waktu : Sabtu pekan pertama, 18.30 – 20.00 WIB
Materi : Qawaidul Arba’
Pengajar : Ustadz Abu Muhammad Zuhair Syarif
Peserta : Ikhwan dan Akhwat
4. Lokasi Masjid Desa Air Hitam
Waktu : Jum’at pekan kedua , 18.30 – 20.00 WIB
Materi : Tsalatsatul Usul
Pengajar : Ustadz Abu Muhammad Zuhair Syarif
Peserta : Ikhwan
5. Lokasi Desa Marga Sakti Unit I (Di rumah ustadz)
Waktu : Senin dan Rabu, 17.00 –18.00 WIB
Materi : Umum
Pengajar : Ustadz Abu Muhammad Zuhair Syarif
Peserta : Akhwat
KABUPATEN SELUMA
1. Lokasi Masjid Jamik Sukaraja
Waktu : Ba’da Isya
Materi : Utsul Tsalasah
Pengajar : Ustadz Abdul Bar
Peserta : Ikhwan
2. Lokasi Masjid Talang Sebaris Kecamatan Sukaraja
Waktu : Ba’da Maghrib
Materi : Kitabut Tauhid
Pengajar : Ustadz Abdul Bar
Peserta : Ikhwan
KABUPATEN BENGKULU SELATAN
1. Lokasi Masjid Al Mu’amalah Jl. Kol. Barlian Gg. Melati Kel. Kota Medan Kec. Kota Manna
Waktu : Ba’da Maghrib, Isya dan Subuh (setiap malam Ahad minggu ke- 2)
Materi : Qawaidul Arba’, Bulughul Maram dan Bahasa Arab
Pengajar : Ustadz Abdul Bar
Peserta : Ikhwan
KABUPATEN MUKO-MUKO
1. Lokasi Masjid Desa Air Hitam
Waktu : Setiap Ahad ke- 3 (Ahad – Kamis) – Setiap waktu ba’da shalat
Materi : Ad Duroru Mudhiyah, Bahasa Arab dan Utsulus Sunnah
Pengajar : Ustadz Abdul Bar
Peserta : Ikhwan
Kontak Person : Ustadz Abu Jabir (085281826725, Ustadz Zuhair Syarif (08153885443), Ali Pondok (081271279118), Ali Bengkulu (081377898823)
Kontributor : Abu Faqih (085367112812)

http://www.darussalaf.or.id/jadwal-kajian-salafi/bengkulu/


Rabu, 15 Mei 2013

Bahaya Pemikiran "Sayyid Quthb"


Bahaya Pemikiran Sayyid Quthb

Oleh : Al Ustadz Muhammad As Sewwed
Bukan riwayat hidup beliau yang akan saya tulis dalam kertas ini. Sudah terlalu banyak orang yang menuliskannya dengan indah, bahkan kadang berlebihan. Bukan pula perhitungan amal dan perbandingan antara kebaikan dan kejelekan yang akan saya terangkan karena perhitungan amal dan hisab akan Allah tegakkan di hari perhitungan kelak dengan teliti dan akan Allah balas dengan seadil-adilnya.
Saya hanya menukilkan nasihat untuk seluruh kaum muslimin agar berhati-hati dari pemikiran Sayid Quthb yang berbahaya dan telah dituangkan kepada kaum muslimin dengan berbagai macam bahasa. Pemikiran beliau ini laku keras di pasaran karena kekaguman kaum muslimin kepada gerakan, keberanian dan digantungnya beliau oleh tirani Mesir. Sehingga ketika mereka mendengar peringatan Ahlus Sunnah dari bahaya pemikiran Sayid Quthb, mereka tersentak kaget. Jantung mereka seakan berhenti sesaat. “Seorang pejuang Islam yang mati syahid di tiang gantungan tirani Mesir dikatakan sesat?” Seakan-akan orang yang mati di tiang gantungan tidak mungkin memiliki penyelewengan dan bahaya pemikiran.
Maka untuk Allah ‘Azza wa Jalla, kemudian untuk kebaikan dan keselamatan manhaj kaum muslimin serta untuk kebaikan Sayid Quthb sendiri yaitu agar penyelewengan dan kerancuan pemikirannya tidak diikuti oleh orang yang lebih banyak yang berarti menambah dosanya, kami akan jelaskan beberapa pemikiran beliau yang sangat berbahaya khususnya dalam masalah pengkafiran kaum muslimin. Semoga dapat bermanfaat bagi kita dan dapat berhati-hati darinya. Untuk membongkar kesesatan pemikiran Sayid Quthb, maka saya memakai kitab Adlwa’ Islamiyah ‘ala Aqidah Sayid Quthb oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafidhahullah sebagai rujukan utamanya.
KERANCUAN PEMAHAMAN SAYID TERHADAP “LA ILAAHA ILLALLAH”
Pemikiran takfir Sayid Quthb merupakan akibat dari akidah dan keyakinan yang salah terhadap makna kalimat tauhid laa ilaaha illallah. Dia menafsirkan kata ilah dengan al-hakim (yang menghukumi). Penafsiran ini persis seperti pemikiran Abul A’la Al-Maududi yang ternyata mengambil pemahaman ini dari seorang ahli filsafat barat, yaitu Haigle dalam bukunya Al-Hukumah Al-Kulliyah (Pemerintahan yang Menyeluruh). Syaikh Nadzir Al-Kasymiri (seorang ulama salaf di India) berkata: “Syaikh Maududi menampilkan pemikiran filsafat barat dari buku Al-Hukumah Al-Kulliyah dengan dibungkus pemikiran Islam.” (Adlwa’ Islamiyah hal. 59)
Sebagai contoh, kita nukilkan di sini terjemahan ucapan Sayid dalam bukunya Al-Adalah Al-Ijtima’iyah (Keadilan Sosial) hal. 182 cet. 12: “Sesungguhnya perkara yang menyakinkan dalam Dien ini adalah bahwasanya tidak akan tegak di hati ini akidah dan tidak pula dalam kehidupan dunia, kecuali dengan mempersaksikan bahwasanya laa ilaha illallah, yaitu laa hakimiyata illa lillah (tidak ada kehakiman kecuali untuk Allah), hakimiyah yang berujud qadla dan qadar-Nya sebagaimana terwujud dalam syariat dan perintahnya.”
Demikian pula ucapannya dalam menafsirkan surat Al-Qashash: Huwallahulladzi la ilaha illahuwa. Dia berkata: “Yaitu tidak ada sekutu bagi-Nya dalam penciptaan dan ikhtiar.” (Fi Dhilalil Qur`an 5/2707)
Bahkan lebih jelas lagi dia berkata dalam tafsir surat An-Nas bahwa Al-ilah adalah al-musta’li, al-mustauli, al-mutasallith. (Fi Dhilal 6/4010) yang semuanya itu bermakna kurang lebih sama yaitu “Yang Menguasai”.
Demikianlah Sayid mempersempit makna ilah hanya kepada rububiyah dan melalaikan makna yang hakiki dari kata ilah yang mengandung makna uluhiyah yaitu “yang berhak untuk diibadahi”. Penafsiran Sayid ini jelas bertentangan dengan penafsiran para ulama Ahlus Sunnah.
Ibnu Jarir berkata dalam menafsirkan ayat dalam surat Al-Qashash di atas: “Allah yang Maha Tinggi sebutannya, Rabb kamu –wahai Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam— adalah yang berhak untuk diibadahi yang tidak layak peribadatan itu diberikan kecuali kepadaNya dan tidak ada yang boleh diibadahi kecuali Dia.” (Tafsir At-Thabari 20/102)
Demikian pula dalam Tafsir Ibnu Katsir dikatakan: “Yaitu yang menyendiri dengan uluhiyah dan tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Dia. Sebagaimana tidak ada penguasa yang menciptakan apa yang dikehendakinya dan memilih sekehendaknya kecuali Dia.” (Tafsir Ibnu Katsir 3/398)
Demikianlah para ulama Ahlus Sunnah memahami kalimat tauhid seperti pemahaman para pendahulunya dari kalangan salafus shalih, yaitu tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah (uluhiyah) yang terkandung di dalamnya makna rububiyah dan asma wa sifat. Adapun pemahaman Sayid bahwa al-ilah adalah al-hakim atau al-musta’li, al-mustauli dan al-mutasallith (penguasa), maka perlu dipertanyakan dari mana dia mendapatkan pemahaman seperti ini. Siapa yang memahami demikian dari kalangan shahabat atau para ulama salaf?
Pemahaman ini jelas menyimpang karena Ahlus Sunnah secara umum telah memahami bahwa tauhid rububiyah –yaitu mengakui bahwa Allah penguasa dan pencipta— telah diakui oleh sebagian besar orang-orang musyrik jahiliyah.
Allah berfirman tentang mereka:
قُلْ لِمَنِ الأَرْضُ وَمَنْ فِيهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلاَ تَذَكَّرُونَ قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلاَ تَتَّقُونَ قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلاَ يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ
Katakanlah: ‘Kepunyaan siapakah bumi ini dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah: ‘Maka apakah kamu tidak ingat?’ Katakanlah: ‘Siapa pemilik langit yang tujuh dan pemilik ‘Arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah: ‘Maka apakah kamu tidak bertakwa?’ Katakanlah: ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah: ‘(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?’ (Al-Mukminun: 84-89)
Lupakah Sayid tentang ayat-ayat Allah yang menjelaskan makna kalimat tauhid dengan tauhidul ibadah, mengesakan Allah dalam beribadah kepada-Nya dan tidak beribadah kepada selain-Nya? Allah berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُونِ
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: ‘Bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.’ (Al-Anbiya: 25)
Kita sama-sama mengetahui betapa luasnya makna ibadah yang mencakup keyakinan, kecintaan, ketaatan, pengabdian, pengagungan, ketundukan, kekhusyu’an, ketakutan, harapan dan juga mencakup amalan badan seperti sujud, ruku’, thawaf, doa, istighatsah, isti’anah, serta mencakup puji-pujian lisan seperti tasbih, tahmid, tahlil, takbir dan lain-lain. Semua itu dilakukan oleh hamba karena rasa butuh hamba kepada Allah dalam rangka (menghambakan diri) dan beribadah kepada Allah. Tidak diberikan jenis-jenis peribadatan ini kecuali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Anehnya Sayid Quthb membawa nama Arab dan bahasa Arab dalam “pemahaman”nya itu. Dia berkata: “…bahwasanya mereka (orang-orang Arab) dahulu telah mengetahui dengan bahasa mereka apa makna ilah dan makna laa ilaha illallah.… Mereka mengetahui bahwa uluhiyah adalah hakimiyah yang paling tinggi.” (Fi Dhilal 2/1005).
Dia juga berkata pada halaman berikutnya: “Laa ilaha illallah sebagaimana yang dipahami oleh orang Arab yang mengerti apa-apa yang ditunjukkan oleh bahasanya yaitu: Tidak ada hakimiyah kecuali untuk Allah dan tidak ada syariat kecuali dari Allah serta tidak ada kekuasaan seseorang atas seseorang karena kekuasaan seluruhnya milik Allah.” (Fi Dhilal 2/1006).
Syaikh Rabi’ dalam membantah ucapan ini berkata: “Sesungguhnya apa yang dinisbahkan oleh Sayid kepada bahasa Arab yaitu tentang makna uluhiyah adalah hakimiyah, tidak dikenal oleh orang Arab dan tidak pula dikenal oleh pakar-pakar bahasa Arab ataupun selain mereka. Bahkan al-ilah menurut orang-orang arab adalah al-ma’bud (yang diibadahi) yang para hamba mendekatkan diri kepadaNya dengan ibadah disertai ketundukan, penghinaan diri, kecintaan dan ketakutan, … Bukan bermakna sesuatu yang mereka berhukum kepadanya.” (hal. 63)
Orang-orang Arab jahiliyah dahulu memiliki tokoh-tokoh dan pemimpin-pemimpin yang mereka berhukum kepadanya, tetapi mereka tidak menamakannya dengan ILAH (sesembahan). Bahkan sebaliknya, mereka memiliki berhala-berhala yang mereka namakan ILAH-ILAH. Seperti LATTA yang berbentuk kuburan. UZZA yang berbentuk tempat keramat, serta patung-patung lainnya yang mereka bertawasul, berkurban dan beribadah kepadanya, tetapi mereka tidak menamakan perbuatan mereka dengan berhukum, bertahkim, atau HAKIMIYAH!
Demikian pula di masa mereka terdapat raja-raja di timur dan di barat, tetapi mereka tidak menamakannya dengan ILAH.
Ingat! Yang kita bantah di sini bukan kewajiban bertahkim kepada Allah, melainkan pemahaman sempit Sayid dengan mengatasnamakan bahasa Arab dan orang-orang Arab. Padahal sama sekali tidak dikenal dalam bahasa Arab bahwa makna ILAH adalah HAKIM.
KABURNYA PEMAHAMAN SAYID TERHADAP RUBUBIYAH DAN ULUHIYAH
Kadang-kadang Sayid menafsirkan makna uluhiyah dengan rububiyah. Terkadang pula sebaliknya. Sayid berkata dalam tafsir Surat Ibrahim ayat 52: “Makna al-ilah adalah Dzat yang berhak untuk menjadi RABB yaitu yang menghakimi, Yang memiliki, Yang berbuat, Yang membuat syariat dan Yang mengarahkan.” (Fi Dhilal 4/2114)
Bahkan dia berkata bahwa pertikaian antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum musyrikin jahiliyah adalah dalam masalah rububiyah. Berbeda dengan apa yang disampaikan oleh seluruh ulama ahlus sunnah. Dia mengatakan: “…perkara uluhiyah sedikit sekali menjadi bahan pertikaian pada kebanyakan orang-orang jahiliyah, khususnya jahiliyah Arab. Hanya saja yang selalu menjadi bahan pertikaian adalah masalah rububiyah. Yaitu masalah penerapan Dien pada kehidupan dunia ini, berupa amal nyata yang mempengaruhi kehidupan manusia.” (Fi Dhilal)
Dari ucapan ini terlihat bahwa Sayid tidak dapat membedakan antara uluhiyah dan rububiyah. Kemudian apakah akibat dari kerancuan pemahaman Sayid terhadap rububiyah dan uluhiyah dan sempitnya pandangan Sayid terhadap laa ilaha illallah ini?!
PENGKAFIRAN SAYID TERHADAP KAUM MUSLIMIN
Akibatnya sungguh mengerikan! Dia mengkafirkan seluruh kaum muslimin dan umat Islam secara tersirat dan tersurat dan meremehkan kesyirikan dalam masalah ibadah. Perhatikanlah ucapannya: “…termasuk dalam lingkup masyarakat jahiliyah adalah masyarakat yang mengaku dirinya muslim. Masyarakat tersebut masuk ke dalam lingkungan ini bukan karena meyakini uluhiyah kepada selain Allah dan tidak pula karena menghadapkan syiar-syiar ibadah kepada selain Allah, tetapi mereka masuk ke dalam masyarakat jahiliyah ini karena tidak beragama dengan ‘peribadatan’ kepada Allah dalam undang-undang kehidupan mereka. Maka yang demikian –walaupun mereka tidak meyakini uluhiyah seorang pun kecuali Allah— tetapi mereka telah memberikan yang paling istimewa dari keistimewaan-keistimewaan ketuhanan kepada selain Allah dan beragama dengan HAKIMIYAH kepada selain Allah….” (Fi Dhilal)
Tampak dari ucapannya bahwa masyarakat Islam hanya pengakuan, padahal sebenarnya mereka adalah masyarakat jahiliyah. Terkesan pula bahwa memberikan syiar-syiar ibadah kepada selain Allah adalah masalah sepele, bahkan sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali bahwa hampir pada semua tulisan Sayid dalam Fi Dhilalil Qur`an dan yang lainnya tidak memperdulikan para penyembah kubur, orang-orang yang melampaui batas terhadap ahlul bait dan para wali, serta orang-orang yang memberikan sifat uluhiyah dan ubudiyah kepada mereka. Dia tidak menghukumi manusia kecuali dengan penyelisihannya terhadap hakimiyah. Dan penafsiran Sayid terhadap la ilaha illallah tidak keluar dari HAKIMIYAH, KEKUASAAN dan KEPEMIMPINAN semata.
Juga ucapan Sayid ketika menafsirkan surat Yusuf ayat 106:
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلاَّ وَهُمْ مُشْرِكُونَ
Tidaklah kebanyakan mereka beriman kepada Allah kecuali dalam keadaan musyrik. (Yusuf: 106)
Setelah Sayid menyebutkan syirik yang samar dia mengatakan: “Dan di sana ada syirik yang tampak jelas yaitu tunduk kepada selain Allah dalam salah satu urusan kehidupan dan tunduk kepada aturan syariat yang dijadikan (oleh manusia) sebagai hukum. Hal ini merupakan asas dalam kesyirikan yang tidak bisa dibantah. Demikian pula tunduk kepada adat-adat kebiasaan seperti mengadakan perayaan-perayaan, musim-musim yang diatur oleh manusia padahal tidak disyariatkan oleh Allah, tunduk kepada aturan pakaian yang menyelisihi apa yang diperintahkan oleh Allah untuk ditutupi dan membuka aurat-aurat yang syariat Allah telah menetapkan untuk ditutup[1]. Urusan seperti ini lebih dari sekedar pelanggaran dan dosa penyelisihan syariat, karena urusan itu merupakan ketaatan dan ketundukan kepada pemahaman yang umum pada masyarakat berupa ciptaan hamba dan meninggalkan perkara jelas yang muncul dari penguasa para hamba….
Sesungguhnya ketika itu bukan lagi dia sebagai dosa melainkan pensyariatan karena yang demikian merupakan ketundukan kepada selain Allah dalam perkara yang menyelisihi perintah Allah….” (Fi Dhilal 4/2023)
Dalam ucapan Sayid di atas terdapat dua bahaya besar: Pertama, pengkafiran kaum muslimin karena dosa-dosa seperti mengikuti adat kebiasaan, berpakaian yang menyelisihi syariat dan lain-lain. Kedua, penafsiran Al-Qur`an tidak seperti apa yang dikehendaki Allah, khususnya dalam masalah kesyirikan.
Hal ini terjadi karena Sayid bersikap ghuluw pada masalah hakimiyah sampai-sampai dia berkata: “Sesungguhnya kesyirikian mereka (jahiliyah) yang asasi bukan dalam keyakinan tetapi pada masalah hakimiyah.” (Fi Dhilal 3/1492)
Sungguh aneh pemahaman Sayid ini. Bagaimana kira-kira dia menghukumi raja Najasyi yang masuk Islam dengan keyakinannya dan belum sempat mempraktekkan hukum-hukum Islam dan belum menerapkan al-hakimiyah di negerinya? Kalau menurut pemahaman Sayid berarti dia tetap kafir karena –menurutnya— kesyirikan yang hakiki adalah pada penerapan hakimiyah dan bukan keyakinan!
Adapun pemahaman Ahlus Sunnah adalah pemahaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda kepada para shahabat ketika mendengar Raja Najasyi meninggal:
قَدْ تُوُفِّيَ الْيَوْمَ رَجُلٌ صَالِحٌ مِنَ الْحَبَشَةِ فَهَلُمَّ فَصَلُّوْا عَلَيْهِ. (رواه البخاري)
Telah meninggal hari ini seorang yang shalih dari Habasyah. Marilah kemari! Shalatkanlah dia! (HR. Bukhari dengan Fathul Bari 3/1320)
Bagaimana pendapat anda kalau raja Najasyi menerapkan hakimiyah tetapi tidak meyakini aqidah tauhid dan beribadah kepada kuburan-kuburan? Apakah Rasulullah akan menganggap dia sebagai muslim?!
ANGGAPAN SAYID BAHWA UMAT ISLAM TELAH LENYAP
Saudaraku kaum muslimin, sesungguhnya Sayid Quthb tidak menganggap keberadaan kita sebagai muslimin. Dia menganggap umat Islam telah lenyap dengan lenyapnya kekhilafahan! Lihatlah dia berkata dalam bukunya Hadlirul Islam wa Mustaqbaluh (Islam kini dan esok): “Kami mengajak untuk mengembalikan kehidupan yang islami dalam masyarakat yang islami dengan hukum aqidah Islam dan pandangan yang islami, sebagaimana dihukumi pula oleh syariat Islam dan aturan yang islami. Kita telah mengetahui bahwa kehidupan Islam seperti ini telah berhenti sejak lama di seluruh permukaan bumi. Dan keberadaan Islam pun telah berhenti….”
Tenanglah sebentar! Jangan tergesa-gesa menafsirkan dengan tafsiran pembelaan, karena Sayid akan berkata lebih jelas lagi, yaitu: “…kami menampakkan kenyataan yang terakhir ini walaupun akan menyebabkan munculnya benturan keras dan keputus asaan dari orang-orang yang masih tetap menginginkan untuk menjadi muslimin.”
Lihatlah dia menyebut kaum muslimin dengan ungkapan: “Orang-orang yang ingin menjadi muslimin!”
Ucapan yang hampir sama ia ucapkan pula dalam bukunya Al-Adalah Al-Ijtima’iyah, setelah dia membawakan ayat-ayat tentang hakimiyah: “Ketika kita memperhatikan seluruh permukaan bumi hari ini, di bawah cahaya ketetapan ilahi terhadap pemahaman Dien ini, kita tidak mendapatkan keberadaan Dien ini…. Sesungguhnya keberadaan Dien telah lenyap sejak kelompok terakhir dari kaum muslimin melepaskan pengesaan Allah dalam hakimiyah dalam kehidupan manusia. Yang demikian adalah ketika mereka meninggalkan berhukum dengan syariat Allah semata dalam segala aspek kehidupan.
Kita harus mengakui kenyataan pahit ini dan harus menampakkannya. Janganlah kita khawatir munculnya “putus harapan” dalam hati-hati kebanyakan orang-orang yang suka untuk menjadi muslimin. Mereka seharusnya meyakini bagaimana mereka dapat menjadi muslimin.
Sesungguhnya musuh-musuh Dien ini telah menjalankan usaha sejak beberapa abad dan masih tetap melaksanakan usaha-usaha maksimal yang menipu dan jahat untuk merampas kehendak kebanyakan orang yang ingin menjadi muslimin?” (Al-Adalah hal. 183-184)
Pemikiran-pemikiran Sayid yang berbahaya di antaranya anggapan beliau bahwa:
1. Kehidupan Islam telah tiada.
2. Bahkan wujud Islam telah berhenti.
3. Anggapan bahwa kaum muslimin adalah orang-orang kafir jahiliyah yang menginginkan Islam.
4. Inti Islam yang hakiki adalah tauhid hakimiyah.
5. Dia mengharuskan dan menegaskan untuk mengumumkan pengkafiran umat Islam.
Adakah pengkafiran yang lebih jelas daripada pengkafiran Sayid Quthb ini?! Mana yang dinamakan pengkafiran kalau ucapan seperti ini tidak dinamakan pengkafiran? Perhatikanlah wahai orang-orang yang memiliki pandangan!
UMAT ISLAM TELAH MURTAD DAN ADZAB BAGI MEREKA LEBIH KERAS DARIPADA ORANG KAFIR LAINNYA
Sayid Quthb berkata: “Telah bergeser jaman, kembali seperti keadaan pada hari datangnya Dien ini kepada manusia (yaitu masa jahiliyah, pent). Telah murtad manusia menuju peribadatan kepada hamba-hamba dan menuju kerusakan agama-agama. Mereka telah berpaling dari la ilaha illallah, walaupun sekelompok dari mereka masih tetap mengumandangkan di menara-menara adzan la ilaha illallah tanpa memahami maksudnya, tanpa mengerti apa konsekwensinya, padahal dia mengulang-ulangnya. Juga tanpa menolak pensyariatan hakimiyah yang diaku oleh para hamba untuk diri-diri mereka. Hal ini sama dengan penuhanan (uluhiyah). Sama saja, apakah diaku oleh pribadi-pribadi atau team pensyariatan ataupun oleh masyarakat….” (Fi Dhilal 2/1057)
Bahkan lebih kejam lagi dia berkata: “…yaitu kemanusiaan seluruhnya, termasuk di dalamnya mereka yang mengulang-ulang di menara-menara adzan di timur atau di barat bumi ini kalimat laa ilaha illallah tanpa maksud dan tanpa kenyataan….
Mereka paling berat dosanya dan paling keras adzabnya karena mereka telah murtad kepada peribadatan para hamba setelah jelas baginya petunjuk dan karena mereka sebelumnya berada dalam Dien Allah.” (Fi Dhilal 2/1057)
Lihatlah betapa beraninya Sayid mengkafirkan kaum muslimin dan menganggap mereka orang-orang murtad yang paling keras adzabnya. Padahal mereka masih mengumandangkan adzan dan masih shalat. Lantas apa anggapan dia tentang peribadatan mereka di masjid-masjid?
MASJID MENURUT SAYID ADALAH TEMPAT PERIBADATAN JAHILIYAH
Bertolak dari pengkafiran dia terhadap masyarakat Islam, maka Sayid menganggap masjid-masjid mereka sebagai tempat-tempat peribadatan jahiliyah. Dia berkata ketika menafsirkan ucapan Allah dalam surat Yunus:
وَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى وَأَخِيهِ أَنْ تَبَوَّآ لِقَوْمِكُمَا بِمِصْرَ بُيُوتًا وَاجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قِبْلَةً وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
Dan Kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya: ‘Ambillah olehmu berdua beberapa rumah di Mesir untuk tempat tinggal bagi kaummu dan jadikanlah olehmu rumah-rumahmu itu tempat sembahyang dan dirikanlah olehmu sembahyang serta gembirakanlah orang-orang yang beriman. (Yunus: 87)
Dia berkata: “…inilah pengalaman yang Allah tunjukkan kepada kelompok mukmin agar menjadi teladan. Bukan khusus bagi Bani Israil. Tapi ini adalah pengalaman iman yang murni. Kadang-kadang orang-orang beriman mendapati diri-diri mereka terusir pada suatu hari dari masyarakat jahiliyah, karena fitnah telah merata, thaghut telah bertambah sombong dan manusia telah rusak, serta lingkungan telah membusuk. Demikian pula keadaan di jaman Fir’aun pada masa kini. Di sini Allah mengarahkan kita pada beberapa perkara:
1. Memisahkan diri dari masyarakat jahiliyah, busuknya, rusaknya dan kejelekannya sebisa mungkin. Dan mengumpulkan “kelompok mukmin” yang baik dan bersih dirinya untuk mensucikan, membersihkan dan melatih serta menyusun mereka hingga datang janji Allah untuk mereka.
2. Menghindari tempat-tempat peribadatan jahiliyah dan menjadikan rumah-rumah “kelompok muslim” sebagai masjid yang di sana mereka dapat merasakan keterpisahan mereka dari masyarakat jahiliyah. Kemudian di sana mereka melangsungkan peribadatan kepada Rabb mereka dengan cara yang benar. Dan melanjutkan dengan ibadah tersebut menuju semacam keteraturan (tandhim) dalam lingkungan suasana ibadah yang suci.” (Fi Dhilal 3/1816)
Apa yang terjadi kalau dakwah Sayid yang seperti ini dibiarkan?!
Jelas penafsiran yang batil ini akan mengakibatkan ditinggalkannya masjid-masjid dan munculnya Khawarij-Khawarij gaya baru yang memisahkan diri dari masyarakat Islam dan mengkafirkan mereka. Kemudian siapa yang dimaksud “kelompok mukmin”, “kelompok muslim” dalam masyarakat jahiliyah ini? Tentu pembaca dapat menebak dengan melihat akidah dan pemikiran Sayid yang telah dijelaskan. Ya tentunya yang dia maksud adalah dirinya dan orang-orang yang mengikuti pemikirannya.
JALAN KELUAR MENURUT SAYID
Islam telah lenyap, muslimin telah murtad, masyarakat muslim telah kembali menjadi jahiliyah. Masjid-masjid telah menjadi tempat-tempat peribadatan jahiliyah….
Lalu apa yang harus kita perbuat? Dan bagaimana jalan keluar bagi yang ingin menjadi “kelompok muslim”? Dengarlah apa kata Sayid Quthb berkenaan dengan pertanyaan ini: “Sesungguhnya tidak ada keselamatan bagi ‘kelompok muslim’ di seluruh dunia dari adzab yang Allah sebutkan:
أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعًا وَيُذِيقَ بَعْضَكُمْ بَأْسَ بَعْضٍ
…atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan sebagian kamu keganasan sebagian yang lain…. (Al-An’am: 65)
kecuali jika mereka memisahkan keyakinan, perasaan dan juga prinsip hidup mereka dari masyarakat jahiliyah dan memisahkan diri dari kaumnya. Hingga Allah mengijinkan bagi mereka untuk mendirikan negara Islam yang mereka berpegang padanya. Kalau tidak, maka hendaknya mereka merasakan dengan seluruh perasaannya bahwa mereka sendirilah umat Islam dan merasakan bahwa apa dan siapa yang di sekelilingnya yang tidak masuk kepada apa yang mereka masuki adalah jahiliyah dan masyarakat jahiliyah….” (Fi Dhilal 2/1125)
Inilah jalan keluar menurut Sayid, yaitu dengan menjadi Khawarij, mengkafirkan dan memisahkan diri dari umat Islam! Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Tidakkah Sayid melihat dakwah Ahlus Sunnah dan para ulamanya di jazirah Arab, Yaman, India atau yang lainnya? Tidakkah dia melihat perjuangan dakwah mereka dalam memurnikan ajaran Islam? Bahkan apakah Sayid tidak melihat di sampingnya seorang ulama yang berjuang membela tauhid dan sunnah, yaitu Syaikh Muhibbuddin Al-Khatib rahimahullah?!
PEMIKIRAN TAKFIR SAYID DIAKUI TOKOH-TOKOH IKHWAN SENDIRI
Sesungguhnya pemikiran takfir Sayid Quthb tidak mungkin dipungkiri lagi. Bahkan telah diakui pula oleh beberapa tokoh Ikhwanul Muslimin sendiri. Berikut ini kita dengar beberapa ucapan mereka:
1. Berkata Yusuf Al-Qardlawi dalam bukunya Awlawiyat Al-Harakah Al-Islamiyah:
“Dalam fase ini muncul buku-buku As-Syahid Sayid Quthb yang merupakan fase terakhir dari pemikirannya yang mengkafirkan masyarakat dan menunda dakwah sampai kepada keteraturan Islam dengan pembaharuan fikih dan perkembangannya. Menghidupkan ijtihad serta mengajak untuk memisahkan diri secara perasaan dari masyarakat, memutus hubungan dengan orang lain, mengumumkan jihad fisik melawan seluruh manusia….” (Awlawiyat hal. 110)
2. Berkata Farid Abdul Khaliq, salah seorang tokoh besar Ikhwan dalam kitabnya Ikhwanul Muslimun fi Mizanil Haq hal. 115: “Kita mengetahui dari apa yang telah lewat bahwa munculnya pemikiran takfir (pengkafiran) di kalangan beberapa ikhwan bermula dari penjara Qanathir di akhir tahun lima puluhan dan awal enam puluhan. Mereka terpengaruh oleh Sayid Quthb dan pemikiran-pemikirannya. Mereka mengambil pemahaman darinya bahwa masyarakat ini dalam keadaan jahiliyah dan bahwasanya dia telah mengkafirkan pemerintah yang merasa asing dengan hakimiyah Allah karena tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah. Juga mengkafirkan rakyatnya karena mereka ridla dengan hal itu.”
3. Berkata Ali Gharisah –juga salah seorang tokoh besar Ikhwan— sebagai berikut:
“Dalam kejadian ini, terpecah satu kelompok dari kelompok Islam yang besar ketika keberadaan mereka di penjara-penjara… bersamaan dengan itu kelompok tersebut bertameng dengan pengkafiran kelompok Islam yang besar. Mereka masih tetap dalam pendapatnya tentang pengkafiran pemerintah, penolong-penolongnya serta masyarakat seluruhnya. Kemudian kelompok tersebut berpecah kembali menjadi beberapa kelompok, yang masing-masing mengkafirkan yang lain….” (Lihat kembali kitab beliau Al-Ittijahat Al-Fikriyah Al-Mu’ashirah hal. 279)
Ucapan-ucapan mereka ini menunjukkan bahwa pemikiran takfir Sayid Quthb telah dikenal oleh kawan dan lawannya. Hanya saja ketika bantahan itu dari “kawan” satu harakah, selalu diiringi basa-basi atau penyamaran agar tidak terlihat seakan-akan permasalahan ini adalah permasalahan besar. Seperti Qardlawi setelah ucapan di atas dia berkata: “…Dan buku-buku beliau tersebut memiliki keutamaan-keutamaan dan pengaruh-pengaruh positif yang besar di samping pengaruh-pengaruh negatif.” (hal. 110)
Atau seperti ucapan Ali Gharishah yang tidak menyebutkan siapa atau buku apa atau jamaah apa, dia hanya mengatakan “kelompok kecil” dan “kelompok besar”.
Saudara-saudaraku kaum muslimin, bisa jadi sikap basa-basi dan penyamaran yang menyebabkan terasa kecilnya bahaya-bahaya besar ini adalah karena mereka satu hizb. Mereka menjaga persatuan dan kesatuan Hizibnya dengan prinsip mereka yang terkenal: KITA SALING TOLONG MENOLONG ATAS APA YANG KITA SEPAKATI DAN SALING TOLERANSI ATAS APA YANG KITA BERBEDA.
Kalau begitu bagaimana dengan saudara-saudara kita yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah, salafiyah tetapi memiliki prinsip yang sama dengan mereka?
SIKAP SAYID TERHADAP UTSMAN BIN AFFAN radliallahu ‘anhu
Ikhwani fiddien a’azzakumullah, sesungguhnya pemikiran takfir Sayid Quthb bukan permasalahan sepele. Sikap mengkafirkan seluruh manusia hanya karena dosa-dosa sungguh sangat berbahaya. Tidakkah kita mendengar bagaimana Ali bin Abi Thalib menyikapi Khawarij, kemudian memerangi mereka? Tidakkah kita mendengar ucapan beberapa shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka sejelek-jelek makhluk?
Pemikiran Sayid yang berbahaya ini juga mengakibatkan celaan dan tuduhan kepada para shahabat Nabi seperti para pendahulunya dari kalangan Khawarij dan Syiah, khususnya terhadap Utsman bin Affan dan Muawiyah radliallahu ‘anhuma.
Sayid Quthb tidak mengakui keberadaan khilafah Utsman radliallahu ‘anhu, padahal masa kekhilafahannya paling panjang. Dia berkata: “Kami condong kepada anggapan bahwa khilafah Ali radliallahu ‘anhu adalah kelanjutan dari khilafah dua syaikh sebelumnya (Abu Bakar dan Umar, pent). Adapun masa Utsman merupakan celah antara keduanya.” (Al-Adalah, hal. 206). Mengapa?
Hal ini setelah Sayid mengatakan pada halaman sebelumnya tentang Utsman sebagai berikut: “Sesungguhnya di antara kejelekan yang muncul adalah bahwa Utsman mencapai khilafah dalam keadaan tua, telah lemah semangat Islamnya dan lemah keinginannya untuk tetap tegar menghadapi tipu daya Marwan dan tipu daya Bani Umayah di dalamnya.” (Al-Adalah dalam terjemahan terbitan pustaka hal. 270)
Bahkan dengan terang-terangan dia meragukan ruh Islam yang ada pada Utsman, yaitu setelah Sayid menyebutkan cerita-cerita tentang Utsman yang membagi-bagikan harta pada keluarga dan kerabatnya (korupsi). Juga setelah menceritakan bahwa Utsman mengangkat gubernur-gubernurnya dari keluarganya sendiri, seperti Muawiyah dan Al-Hakam radliallahu ‘anhum…dst. Kemudian dia berkata: “…Dan bahwasanya para shahabat mengetahui penyelewengan dari ruh Islam ini. Maka mereka saling memanggil untuk menyelamatkan Islam dan menyelamatkan khalifah dari bencana ini. Khalifah –dengan ketuaan dan kepikunannya— tidak dapat memegang urusannya dari Marwan. Sesungguhnya sangat susah meragukan ruh Islam di dalam hati Utsman. Tetapi juga sangat sulit memaafkan kesalahan-kesalahannya yang merupakan kesalahan fatal mengenai wilayah dan khilafahnya. Sedangkan dia seorang tua renta yang dikelilingi oleh jajaran orang-orang jelek dari Bani Umayah….” (Al-Adalah hal. 187, cet kelima dan secara makna pada cet. ke 12 hal 159, dan dalam terjemahan PUSTAKA hal. 272)
Sebaliknya Sayid Quthb justru memuji dan membela para pemberontak yang membunuh Utsman. Dia berkata: “…akhirnya, terjadilah pemberontakan atas Utsman. Tercampur padanya kebenaran dan kebatilan, kebaikan dan kejelekan. Tetapi bagi yang memandang perkara ini dengan “kaca mata Islam” dan merasakan urusan ini dengan ruh Islam, pasti dia akan menetapkan bahwa pemberontakan tersebut secara keumuman lebih dekat kepada ruh Islam dan arahannya daripada sikap Utsman atau lebih tepatnya sikap Marwan dan orang-orang yang di belakangnya dari Bani Umayyah.” (Al-Adalah hal. 189 cet. ke 5 dan hal. 161, 162 cet. ke 12 dengan beberapa perubahan tetapi intinya sama, hanya pada cetakan terakhir ini dia menyebut bahwa hal itu karena pengaruh tipu daya Ibnu Saba’ dan dalam terjemahan, hal. 275)[2]
Seharusnya dia mengucapkan: “Barangsiapa memandang dengan kacamata saya dan merasakan dengan ruh saya….” Karena kesimpulan dan pandangan seperti itu sama sekali bukan dari Islam. Dan saya (penulis) sudah menulis pada edisi ke-4 tentang pembelaan terhadap Utsman dan sekaligus pembelaan para shahabat terhadap Utsman. Silahkan simak kembali tulisan tersebut. Adapun pandangan Sayid adalah pandangan Khawarij, Syiah dan Ahli Bid’ah!
Semoga Allah menyelamatkan kaum muslimin dari penyelewengannya dan membuka mata kaum hizbiyah agar melihat bahayanya serta menghilangkan sikap fanatik mereka kepadanya. Amin.
——————————————————————————–
[1] Lantas bagaimana dia menghukumi dir-inya yang mengikuti kebiasaan orang-orang kafir barat dengan memotong habis jenggotnya dan memakai jas dan berdasi?
[2] Terjemahan buku ini diterbitkan oleh pustaka (Salman) Bandung dengan judul Keadilan Sosial dalam Islam cet. I th. 1984M/1404 H. Semua apa yang kami nukil di sini ada dalam terjemahan ini. Walaupun kadang-kadang sedikit berbeda terjemahan dengan apa yang saya tulis. Tetapi pada intinya sama. Wallahu A’lam.
Sumber Asli :


Minggu, 12 Mei 2013

[Fatwa Ulama]HUKUM “PACARAN SEBELUM NIKAH” DAN HUKUM “MENOLAK KHITBAH/PINANGAN” TANPA ALASAN


Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
Soal:
Bagaimana pendapat agama dalam masalah pacaran ini?
Jawaban:
Perkataan penanya “Sebelum Pernikahan”, apabila yang dimaksud sebelum masuk dan setelah akad nikah, maka tidak mengapa. Sebab dengan akad, wanita tersebut telah menjadi istrinya, meskipun belum mendapatkan surat resmi untuk masuk (membina rumah tangga) bersamanya.
Adapun apabila hubungan tersebut dilakukan sebelum nikah, pada saat mengkhitbah atau sebelumnya, maka hal itu haram dan tidak boleh dilakukan.Tidak boleh bagi seseorang untuk bersenang-senang dengan wanita asing yang bukan mahramnya, tidak dengan ucapan, tidak dengan memandang dan tidak dengan berdua-duaan. Telah tsabit dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau bersabda,
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ. وَلاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ
“Janganlah seseorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali wanita tersebut disertai mahramnya, dan janganlah wanita melakukan safar kecuali disertai mahramnya” (Muttafaqun ‘alaihi – red)
Walhasil, apabila hubungan tersebut setelah akad, maka tidaklah mengapa. Namun apabila sebelum akad nikah, meskipun setelah khitbah dan diterima, maka sesungguhnya tidak boleh, itu adalah perbuatan haram baginya, sebab wanita tersebut masih asing dan belum menjadi mahramnya hingga dia mengadakan akad dengannya.
(Dinukil untuk http://ulamasunnah.wordpress.com dari buku “Bingkisan ‘tuk Kedua Mempelai” hal 475, Abu Abdirrahman Sayyid bin Abdirrahman As Shubaihi, taqdim dan Murajaah oleh Asy Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, penerjemah Abu Huzaifah, penerbit Maktabah Al Ghuroba, Solo)
****
Oleh: Asy Syaikh Shalih Bin Fauzan Al Fauzan
Pertanyaan:
Bagaimana hukum seorang wanita menolak pinangan (khithbah) dari seorang laki-laki tanpa alasan?
628152404xxxx@satelindogsm.com
Jawab:
Asy Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan hafidzahullah ditanya oleh seorang pemudi dengan pertanyaan yang senada dengan pertanyaan di atas, beliau hafidzahullah menjawab:
“Apabila engkau tidak berhasrat untuk menikah dengan seseorang maka engkau tidaklah berdosa untuk menolak pinangannya, walaupun ia seorang laki-laki yang shalih. Karena pernikahan dibangun di atas pilihan untuk mencari pendamping hidup yang shalih disertai dengan kecenderungan hati terhadapnya.
Namun bila engkau menolak dia dan tidak suka padanya karena perkara agamanya, sementara dia adalah seorang yang shalih dan berpegang teguh pada agama maka engkau berdosa dalam hal ini karena membenci seorang mukmin, padahal seorang mukmin harus dicintai karena Allah, dan engkau berdosa karena membenci keteguhannya dalam memegang agama ini. Akan tetapi baiknya agama laki-laki tersebut dan keridhaanmu akan keshalihannya tidaklah mengharuskanmu untuk menikah dengannya, selama tidak ada di hatimu kecenderungan terhadapnya. Wallahu a’lam” (Al Muntaqa min Fatawa Fadilatusy Syaikh Shalih Al Fauzan, 3/226-227, sebagaimana dinukil dalam Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah, 2/706-707)
Sumber: Majalah Asy Syariah halaman 75
Vol II/No.04/Desember 2003/Syawwal 1424
Sumber: http://www.ghuroba.blogsome.com

http://www.darussalaf.or.id/fatwa-ulama/hukum-pacaran-sebelum-nikah-dan-hukum-menolak-khitbahpinangan-tanpa-alasan/

[Nasehat]Merekapun Diuji Seperti Kita


 Ustadz Abu Hisyam Sufyan
                Lebih daripada permata nan elok warna dan kilaunnya, al Haq (kebenaran) adalah hal yang sangat besar nilainya dalam sanubari seorang muslim. Untuknya, berbagai ujian dan aral rintangan yang menghadang, bukanlah dianggap halangan. Bahkan, ia terjang demi kekalnya apa yang telah ia rengkuh ini. Harta benda bahkan nyawa yang ia miliki pun siap dipertaruhkan untuknya. Satu tekad bulatnya, bagaimanapun kondisinya, al Haq haruslah tetap di jiwanya.
            Memang, adalah sunnatullah, dunia merupakan negeri ujian-Nya. Siapa pun yang memegang al Haq, ia pun harus siap untuk menghadapai konsekuensi beratnya. Ya, manusia pasti akan diuji. Dengan berbagai bentuk ujian yang jika hatinya benar-benar telah luluh untuk al Haq, tiadalah ujian-ujian tersebut melainkan justru menambah kekuatan imannya.
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آَمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ  وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Apakah manusia mengira setelah mereka mengikrarkan dirinya bahwa dia beriman, lantas mereka dibiarkan tidak diuji ? Sungguh, orang-orang yang terdahulu pun telah Kami uji. Yang dengan ujian ini, maka akan teranglah siapa yang jujur dalam pengakuan imannya, dan siapakah yang dusta.”[Q.S. Al Ankabut: 2-3]
            Ayat diatas, tersimpulkan darinya satu hal, bahwa setiap mukmin pasti akan diuji. Maka siapa saja yang mengaku beriman, harus bersiap-siap merasakan pahit getirnya. Berbagai ujian, yang pasti banyak hikmah dibaliknya. Mengangkat derajat seseorang setinggi-tingginya atau bahkan sebaliknya, menghinakan seseorang sehina-hinanya. Sesuai sikapnya menghadapi ujian.
            Hal lain yang harus selalu kita ingat, bahwa dunia adalah negeri ujian. Semua manusia, terlebih mukminnya, pasti akan Allah berikan berbagai bentuk ujian yang telah Dia I siapkan. Namun, Allah Maha Bijaksana lagi Kasih Sayang terhadap hamba-Nya. “Allah tidak akan membebani  seorang anak manusia di luar batas kemampuannya.” [Q.S. Al Baqarah: 286].Segala hal yang Allah bebankan kepada anak manusia, pastilah dibangun diatas ilmu Allah, Dzat Yang Maha mengetahui bahwa hamba tersebut mampu menyelesaikannya.
            Termasuk dalam hal ujian. Ujian apapun yang Allah pilihkan untuk para hamba-Nya, tidak akan melebihi batas akhir kemampuan hamba-Nya. Dengan kata lain, Allah tidak mungkin akan menguji anak manusia dengan ujian yang dia tidak mampu memikulnya. Maka, ketika kita tertimpa suatu ujian, maka bulatkan tekad, katakan dengan yakin bahwa, “Aku pasti mampu menyelesaikannya dengan izin Allah. Karena aku tahu bahwa Allah hanya akan mengujiku dengan sesuatu yang aku mampu menyelesaikannya.”
            Diantara hal yang bisa kita lakukan untuk mengokohkan kesabaran kita adalah melihat kisah umat terdahulu. Bahwa mereka pun diuji oleh Allah dengan berbagai bentuk ujian. Bahkan nyatanya, ujian yang mereka hadapi jauh lebih berat dari ujian-ujian yang mengitari kita.
                أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آَمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ
“Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga, padahal belum datang kepada kalian (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan). Sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesunggunhnya pertolongan Allah itu amat dekat.”[Q.S. Al Baqarah: 214]
            Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menuturkan bahwa didalam ayat ini Allah I mengabarkan bahwa Ia pasti akan menguji hamba-Nya dengan ujian yang berat. Sebagaimana Allah I menguji umat-umat terdahulu. Ini adalah ketetapan Allah I yang akan terus berlangsung. Tidak mungkin berubah atau berganti. Bahwa siapa pun yang berusaha menegakkan agama-Nya, maka ia pasti akan diuji.
            Akan tetapi, siapa yang tidak mampu bersabar, dan justru hal ini menghalangi dan memalingkannya dari keimanan, maka teranglah bahwa pengakuan keimanannya adalah dusta. Karena iman bukanlah sekadar pengakuan, bukan pula angan-angan. Tetapi menghujam kokoh dalam qalbu, dan dibuktikan dengan amalannya.
            Seperti yang Allah I beritakan, umat-umat terdahulu, telah menimpa mereka al ba’sa, yakni kefakiran dan ad dharra’, yakni berbagai penyakit. Mereka juga digoncangkan dengan berbagai bentuk ketakutan. Adanya ancaman pembunuhan, pengucilan, perampasan harta benda, karib kerabat dan orang-orang yang dicintai dibantai, berbagai bentuk siksaan yang berat, hingga hal ini menjadikan mereka menganggap lama pertolongan Allah yang mereka yakini kedatangannya.
            Saking kerasnya ujian yang mereka hadapi, hingga terucap dari lisan Rasul dan orang-orang mukmin yang bersamanya, “Kapankah pertolongan Allah datang ?” “Ketahuilah, sesungguhnya pertolongan Allah itu sudah dekat.”
            Demikianlah, siapa pun yang berusaha menegakkan al Haq, ia pun pasti diuji oleh Allah. Adakah ia konsisten dan mau bersabar ? Maka ujian pun akan berbuah indah. Yang berat terasa ringan. Musuh-musuh terkalahakan. Berbagai penyakit yang menggores di hati pun tersembuhkan.
            Dalam ayat semakna Allah I firmankan:
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ
“Apakah kalian mengira akan masuk surga sementara Allah belum melihat orang-orang yang berjihad (bersungguh-sungguh) di antara kalian dan juga melihat orang-orang yang bersabar.” [Q.S. Ali Imran: 142]
            Maka dengan ujian, seorang hamba akan dimuliakan atau bahkan dihinakan sehina-hinanya. [Taisirul Karimir Rahman]
Rasullullah r pernah menceritakan sebuah kisah mengenai bagaimana beratnya ujian yang menimpa umat terdahulu. Mereka benar-benar berjuang, mempertaruhkan nyawa mereka demi terjaganya nikmat iman yang telah menghujam dalam di kedalaman qalbunya.
Ketika beliau r masih di kota Makkah, di awal-awal perjuangan dakwah. Saat itu, merupakan masa-masa yang berat bagi kaum muslimin. Jumlah mereka yang sangat minoritas ini, menjadikan mereka hidup penuh ancaman dan tekanan. Disiksa oleh kaum musyrik Quraisy. Coba lihat, bagaimana Bilal bin Rabah dalam panas terik yang membakar, tubuhnya ditelentangkan di atas pasir panas bak bara. Tubuhnya ditindih dengan batu yang demikian besar hingga ia pun tak bisa berkutik. Di lain waktu, dengan leher yang terikat, ia menjadi bahan permainan anak-anak. Ia diseret mengelilingi gang-gang kota Makkah layaknya seekor hewan ternak. “Ahad ahad ahad”, kata-kata inilah yang selalu terucap dari mulutnya. Allah Maha Tunggal.
Di tempat lain, keluarga Ammar bin Yasir pun disiksa hebat. Diikat di bawah sengatan panas matahari sahara. Terus berlanjut, hingga datanglah Abu Jahl kemudian menusuk kemaluan Sumayyah, ibunda Ammar, hingga ia pun tersungkur meninggal dunia. Semoga Allah I meridhai beliau. Sumayyah, syahidah pertama dalam islam. “Bersabarlah wahai keluarga Yasir. Sesungguhnya kesudahan akhir bagi kalian adalah surga”, demikian sabda Rasulullah r kepada mereka.
Keadaan memang sangat mengenaskan. Hingga membawa sahabat Khabbab bin Al Art untuk mencari Rasulullah, mengadukan apa yang menimpa mereka.
Waktu itu, Nabi Muhammad r sedang bertelekan di dalam naungan bayangan ka’bah, berbantalkan kain burdah yang beliau kenakan, Khabbab pun mengadukan apa yang terjadi.
“Wahai Rasulullah, sungguh apa yang menimpa kami sangatlah berat, tidaklah engkau mendoakan kebaikan untuk kami ? Tidakkah engkau memohon segera pertolongan Allah ?”
Demi mendengar ucapan Khabbab, Nabi pun terbangun. Wajah beliau memerah. Menunjukkan bahwa beliau marah. Kemudian beliau r bersabda yang artinya, “Sungguh, umat terdahulu, ada di antara mereka yang tubuhnya disisir dengan sisir-sisir dari besi, dipisahkan antara tulang dan dagingnya. Namun, hal itu tidak menjadikan mereka berpaling dari agamanya. Ada pula yang diletakkan gergaji di atas belahan rambut kepalanya. Ia pun dibelah dengannya sehingga terpotong menjadi dua. Pun tidak memalingakannya dari agamanya. Sungguh, Allah pasti akan meyempurnakan urusan agama ini. Hingga seorang pengendara, berjalan dari Shan’a ke Hadramaut, tidak ada yang ia takutkan selain Allah, juga serigala terhadap kambing-kambinnya. Hanya saja, kalian ini tergesa-gesa.” [H.R Al Bukhari dan selainnya].
Dalam hal ini Nabi hendak meningatkan sahabat Khabbab, bahwa apa yang menimpanya serta sahabat yang lain, jauh lebih ringan dibandingkan apa yang telah menimpa umat-umat sebelumnya. Maka, ini adalah obat yang mujarrab untuk menghadapi ujian-ujian yang semacam ini. Yakni, ketika kita mendapatkan ujian yang begitu berat, maka segeralah kita mengingat orang lain yang ujian mereka nyatanya lebih berat dari kita. Insya Allah dengan hal ini, kita akan mampu untuk terus berada di atas kesabaran. Kemudian, kita dapati mereka pun ternyata mampu menuntaskannya, mengapa kita tidak ?
Dalam hadits ini pun terdapat anjuran, agar kita selalu bersabar dan tidak tergesa-gesa dalam menghadapi ujian yang tengah menghadang. Orang-orang yang mampu bersabar, merekalah para pemenang. Yang berhak mendapatkan berbagai keutamaan yang tinggi di sisi-Nya.
Di dalamnya juga terdapat suatu peringatan bagi orang-orang yang berusaha mengekalkan al Haq di dalam qalbunya. Bahwa ia harus bersiap untuk mendapatkan berbagai bentuk ujian yang disiapkan-Nya. Sama, seperti dahulu Allah juga menguji orang-orang yang semisal dengannya.
Nah, inilah sepenggal kisah umat terdahulu. Beratnya ujian yang menimpa mereka, keseluruhannya tidak mampu menggoyahkan pijakan kakinya untuk terus berada di atas al Haq. Suatu hal yang sangat patut untuk kita tiru dan kita contoh.
Maka, kita selalu memohon kepada Allah agar selalu mengokohkan kaki-kaki kita dalam berpijak di atas al Haq yang kita cintai ini. Wallahhu a’lam.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 4, vol. 1, hal 39-44

 

Followers