Jumat, 01 Maret 2013

LAPORAN PRAKTIKUM PRODUKSI TANAMAN PANGAN ”BUDIDAYA TANAMAN PADI PADA 2 UMUR TANAM PRODI AGROEKOTEKNOLOGI JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIV. BENGKULU. 2012


LAPORAN PRAKTIKUM
PRODUKSI TANAMAN PANGAN
 ”BUDIDAYA TANAMAN PADI PADA 2 UMUR TANAM”


OLEH:

Nama              :ABEN CANDRA
NPM               :E1J010070
Dosen              : Ir. Hermansyah., MP
Lokasi             : Zona Pertanian Terpadu


PRODI AGROEKOTEKNOLOGI
JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN UNIV. BENGKULU.
2012

I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Meningkatnya jumlah penduduk telah meningkatkan kebutuhan pangan, sehingga produksi pangan, khususnya beras harus ditingkatkan, mengingat beras merupakan bahan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Ilmu pengetahuan dan teknologi diharapkan mampu memberi kontribusi dan solusi yang tepat, dalam menghadapi permasalahan tersebut.
Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi padi antara lain melalui pengaturan jarak tanam dan penggunaan umur bibit yang tepat. Jarak tanam dipengaruhi oleh sifat varietas padi yang ditanam dan kesuburan tanah. Varietas padi yang memiliki sifat  menganak tinggi membutuhkan jarak tanam lebih lebar jika dibandingkan dengan varietas yang memiliki daya menganaknya rendah. Umur bibit pindah tanam harus tepat dan sesuai untuk mengantisipasi perkembangan akar yang umumnya berhenti pada umur 42 hari sesudah semai, sementara jumlah anakan produktif akan mencapai maksimal pada umur 49-50 hari sesudah semai (Thangaraj and O’Toole, 1985).
Secara umum jarak tanam dan umur bibit pada padi sawah diketahui berpengaruh terhadap pertumbuhan maupun hasil padi sawah. Walaupun demikian umur bibit dan jarak tanam yang optimum masih belum diketahui dengan tepat,oleh karena itu penelitian mengenai jarak tanam dan umur bibit pada tanaman padi sawah masih sangat penting untuk dilakukan.
Padi adalah salah satu tanaman budidaya terpenting dalam peradaban manusia. Meskipun terutama mengacu pada jenis tanaman budidaya, padi juga digunakan untuk mengacu pada beberapa jenis dari marga (genus) yang sama, yang disebut padi liar.
Produksi padi dunia menempati urutan ketiga dari semua serealia setelah jagung dan gandum. Namun demikian, padi merupakan sumber karbohidrat utama bagi mayoritas penduduk dunia.
Negara produsen padi terkemuka adalah Republik Rakyat Cina (31% dari total produksi dunia), India (20%), dan Indonesia (9%). Namun hanya sebagian kecil produksi padi dunia yang diperdagangkan antar negara (hanya 5%-6% dari total produksi dunia). Thailand merupakan pengekspor padi utama (26% dari total padi yang diperdagangkan di dunia) diikuti Vietnam (15%) dan Amerika Serikat (11%). Indonesia merupakan pengimpor padi terbesar dunia (14% dari padi yang diperdagangkan di dunia) diikuti Bangladesh (4%), dan Brazil (3%).Produksi padi Indonesia pada 2006 adalah 54 juta ton , kemudian tahun 2007 adalah 57 juta ton (angka ramalan III), meleset dari target semula yang 60 juta ton akibat terjadinya kekeringan yang disebabkan gejala ENSO.
Padi termasuk dalam suku padi-padian atau Poaceae (sinonim Graminae atau Glumiflorae). Sejumlah ciri suku (familia) ini juga menjadi ciri padi, misalnya
·         berakar serabut,
·         daun berbentuk lanset (sempit memanjang),
·         urat daun sejajar,
·         memiliki pelepah daun,
·         bunga tersusun sebagai bunga majemuk dengan satuan bunga berupa floret,
·         floret tersusun dalam spikelet, khusus untuk padi satu spikelet hanya memiliki satu floret,
·         buah dan biji sulit dibedakan karena merupakan bulir (Ing. grain) atau kariopsis.
Padi tersebar luas di seluruh dunia dan tumbuh di hampir semua bagian dunia yang memiliki cukup air dan suhu udara cukup hangat. Padi menyukai tanah yang lembab dan becek. Sejumlah ahli menduga, padi merupakan hasil evolusi dari tanaman moyang yang hidup di rawa. Pendapat ini berdasar pada adanya tipe padi yang hidup di rawa-rawa (dapat ditemukan di sejumlah tempat di Pulau Kalimantan), kebutuhan padi yang tinggi akan air pada sebagian tahap kehidupannya, dan adanya pembuluh khusus di bagian akar padi yang berfungsi mengalirkan oksigen ke bagian akar
Setiap bunga padi memiliki enam kepala sari (anther) dan kepala putik (stigma) bercabang dua berbentuk sikat botol. Kedua organ seksual ini umumnya siap reproduksi dalam waktu yang bersamaan. Kepala sari kadang-kadang keluar dari palea dan lemma jika telah masak.
Dari segi reproduksi, padi merupakan tanaman berpenyerbukan sendiri, karena 95% atau lebih serbuk sari membuahi sel telur tanaman yang sama.
Setelah pembuahan terjadi, zigot dan inti polar yang telah dibuahi segera membelah diri. Zigot berkembang membentuk embrio dan inti polar menjadi endospermia. Pada akhir perkembangan, sebagian besar bulir padi mengadung pati di bagian endospermia. Bagi tanaman muda, pati berfungsi sebagai cadangan makanan. Bagi manusia, pati dimanfaatkan sebagai sumber gizi.
Satu set genom padi terdiri dari 12 kromosom. Karena padi adalah tanaman diploid, maka setiap sel padi memiliki 12 pasang kromosom (kecuali sel seksual).Padi merupakan organisme model dalam kajian genetika tumbuhan karena dua alasan: kepentingannya bagi umat manusia dan ukuran kromosom yang relatif kecil, yaitu 1.6~2.3 × 108 pasangan basa (base pairs, bp) (Sumber: situs Gramene.org)
Pemuliaan padi telah berlangsung sejak manusia membudidayakan padi. Dari hasil tindakan ini orang mengenal berbagai macam ras lokal padi, seperti rajalele dari Klaten atau cianjur pandanwangi dari Cianjur. Orang juga berhasil mengembangkan padi lahan kering (padi gogo) yang tidak memerlukan penggenangan atau padi rawa, yang mampu beradaptasi terhadap kedalaman air rawa yang berubah-ubah. Di negara lain dikembangkan pula berbagai tipe padi (lihat bagian Keanekaragaman padi).
Namun demikian, pemuliaan padi secara sistematis baru dilakukan sejak didirikannya IRRI di Filipina. Sejak saat itu, berbagai macam tipe padi dengan kualitas berbeda-beda berhasil dikembangkan secara terencana untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia.
Pada tahun 1960-an pemuliaan padi diarahkan sepenuhnya pada peningkatan hasil. Hasilnya adalah padi 'IR5' dan 'IR8' (di Indonesia diadaptasi menjadi 'PB5' dan 'PB8'). Walaupun hasilnya tinggi tetapi banyak petani menolak karena rasanya tidak enak (pera). Selain itu, terjadi wabah hama wereng coklat pada tahun 1970-an. Puluhan ribu persilangan kemudian dilanjutkan untuk menghasilkan kultivar dengan potensi hasil tinggi dan tahan terhadap berbagai hama dan penyakit padi. Pada tahun 1984 Indonesia pernah meraih penghargaan dari PBB (FAO) karena berhasil meningkatkan produksi padi hingga dalam waktu 20 tahun dapat berubah dari pengimpor padi terbesar dunia menjadi negara swasembada beras. Prestasi ini, sayangnya, tidak dapat dilanjutkan. Saat ini Indonesia kembali menjadi pengimpor padi terbesar di dunia.
Hadirnya bioteknologi dan rekayasa genetika pada tahun 1980-an memungkinkan perbaikan kualitas nasi. Sejumlah tim peneliti di Swiss mengembangkan padi transgenik yang mampu memproduksi toksin bagi hama pemakan bulir padi dengan harapan menurunkan penggunaan pestisida. IRRI, bekerja sama dengan beberapa lembaga lain, merakit "padi emas" (golden rice) yang dapat menghasilkan pro-vitamin A pada berasnya, yang diarahkan bagi pengentasan defisiensi vitamin A di berbagai negara berkembang. Suatu tim peneliti dari Jepang juga mengembangkan padi yang menghasilkan toksin bagi bakteri kolera[1]. Diharapkan beras yang dihasilkan padi ini dapat menjadi alternatif imunisasi kolera, terutama di negara-negara berkembang.
Sejak penghujung abad ke-20 dikembangkan padi hibrida, yang memiliki potensi hasil lebih tinggi. Karena biaya pembuatannya tinggi, kultivar jenis ini dijual dengan harga lebih mahal daripada kultivar padi yang dirakit dengan metode lain.
Selain perbaikan potensi hasil, sasaran pemuliaan padi mencakup pula tanaman yang lebih tahan terhadap berbagai organisme pengganggu tanaman (OPT) dan tekanan (stres) abiotik (seperti kekeringan, salinitas, dan tanah masam). Pemuliaan yang diarahkan pada peningkatan kualitas nasi juga dilakukan, misalnya dengan perakitan kultivar mengandung karoten (provitamin A).
Keanekaragaman botanis
Terdapat dua spesies padi yang dibudidayakan manusia: Oryza sativa yang berasal dari daerah hulu sungai di kaki Pegunungan Himalaya (India dan Tibet/Tiongkok) dan O. glaberrima yang berasal dari Afrika Barat (hulu Sungai Niger).
O. sativa terdiri dari dua varietas, indica dan japonica (sinonim sinica). Varietas japonica umumnya berumur panjang, postur tinggi namun mudah rebah, paleanya memiliki "bulu" (Ing. awn), bijinya cenderung panjang. Varietas indica, sebaliknya, berumur lebih pendek, postur lebih kecil, paleanya tidak ber-"bulu" atau hanya pendek saja, dan biji cenderung oval. Walaupun kedua varietas dapat saling membuahi, persentase keberhasilannya tidak tinggi. Contoh terkenal dari hasil persilangan ini adalah kultivar IR8, yang merupakan hasil seleksi dari persilangan varietas japonica (kultivar 'Deegeowoogen' dari Formosa dan varietas indica (kultivar 'Peta' dari Indonesia). Selain kedua varietas ini, dikenal pula sekelompok padi yang tergolong varietas minor javanica yang memiliki sifat antara dari kedua varietas utama di atas. Varietas javanica hanya ditemukan di Pulau Jawa. Budidaya padi yang telah berlangsung lama telah menghasilkan berbagai macam jenis padi akibat seleksi dan pemuliaan yang dilakukan orang.
Teknik budidaya padi telah dikenal oleh manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Sejumlah sistem budidaya diterapkan untuk padi.Budidaya padi sawah (Ing. paddy atau paddy field), diduga dimulai dari daerah lembah Sungai Yangtse di Tiongkok.Budidaya padi lahan kering, dikenal manusia lebih dahulu daripada budidaya padi sawah.Budidaya padi lahan rawa, dilakukan di beberapa tempat di Pulau Kalimantan.
Praktikum ini bertujuan untuk me,mbedakan Pertumbuhan padi pada umur pindah tanam 2 minggu dan 3 minggu.


II. METODELOGI


Alat dan bahan
·         Kertas tulis
·         Polibag
·         Benih Padi
 III. HASIL DAN  PEMBAHASAN
A. Hasil pengamatan
Pengamatan 1 ( minggu ke 1 setelah pindah tanam)
Tanaman umur 2 minggu
Tinggi
Jumlah anakan
1
27
1
2
26.6
1
3
18.5
1
4
22.4
1
5
19
1
Pengamatan 2 ( minggu ke 2 setelah pindah tanam)
2 minggu  pindah tanam
Tinggi
Jumlah anakan
1
32
4
2
36
1
3
30.5
3
4
27
1
5
30
2

3 minggu pindah tanam
Tinggi
Jumlah anakan
1
35,2
16
2
40,8
5
3
42
14
4
30
7
5
43,6
15
Pengamatan 4 ( minggu ke 4 setelah pindah tanam)
2 minggu pindah tanam
Tinggi
Jumlah anakan
1
40
23
2
43.5
10
3
51.4
28
4
38.5
16
5
47.2
23

3 minggu pindah tanam
Tinggi
Jumlah anakan
1
20
2
2
28.3
1
3
33.2
1
4
33
3
5
27.5
2

Pengamatan 5 ( minggu ke 5 setelah pindah tanam)
2 minggu pindah tanam
Tinggi
Jumlah anakan
1
70
43
2
52
45
3
53.5
32
4
50
32
5
50
59

3 minggu pindah tanam
Tinggi
Jumlah anakan
1
43.5
7
2
45
14
3
44
11
4
40
23
5
43
12

Pengamatan 6 ( minggu ke 6 setelah pindah tanam)
2 minggu pindah tanam
Tinggi
Jumlah anakan
1
70.5
48
2
63
49
3
62
51
4
75
43
5
61
68

3 minggu pindah tanam
Tinggi
Jumlah anakan
1
59
18
2
45
27
3
44
17
4
41
31
5
43
17

Pengamatan 7 ( minggu ke 7 setelah pindah tanam)
2 minggu pindah tanam
Tinggi
Jumlah anakan
1
84
50
2
72
51
3
73
53
4
76
48
5
64.9
69

 3 minggu pindah tanam
Tinggi
Jumlah anakan
1
62
26
2
61
37
3
89
22
4
44.5
33
5
44
17







B. Pembahasan
Budidaya padi menurut metode SRI, merupakan satu metode untuk meningkatkan produktivitas padi beririgasi yang meliputi perubahan pengelolaan penanaman, tanah, air, dan nutrisi bila dibandingkan dengan cara konvensional (Uphoff, 2002).   Menurut Kasim (2004), budidaya metode SRI  dapat menghindari stagnasi bibit, menghemat waktu, mengurangi kebutuhan benih, meningkatkan jumlah anakan, menghemat pemakaian air, dan produksi lebih tinggi.
Pemakaian bibit per titik tanam berpengaruh terhadap pertumbuhan karena secara langsung berhadapan dengan kompetisi antar tanaman dalam satu rumpun.  Jumlah bibit per titik tanam yang lebih sedikit akan memberikan ruang pada tanaman untuk menyebar dan memperdalam perakaran (Berkelaar, 2001). 
Menurut Uphoff (2002), bahwa metode SRI  bibit ditanam secara tunggal sehingga tidak terdapat kompetisi diantara akar tanaman yang dapat menghambat pertumbuhan.  Menurut Barkelaar (2001), bahwa bibit ditransplantasi satu-satu agar tanaman memiliki ruang untuk menyebar dan memperdalam perakaran, sehingga tanaman tidak bersaing terlalu ketat untuk memperoleh ruang tumbuh, cahaya atau nutrisi dalam tanah. Hasil uji coba sistem SRI di Indonesia dengan 1 bibit dapat menghasilkan 6,9 – 9,7 t ha-1 dan pada tingkat petani 5,0 – 9,3 t ha-1 (Gani, Kadir, Jatiharti, Wardhana dan Las, 2002), sedangkan menurut  Stoop, Uphoff dan Kassam (2003),  di negara lain  seperti  Cina, Madagaskar, dan Filipina dengan menggunakan  1 bibit per titik tanam, dapat menghasilkan produksi padi 10,5 – 16,0 t ha-1
Umur bibit pindah lapang sangat berpengaruh terhadap produksi padi.  Semakin cepat bibit pindah lapang akan semakin memadai periode bibit beradaptasi dengan lingkungan baru, sehingga semakin memadai periode untuk perkembangan anakan dan akar.  Pemindahan bibit lebih awal ini juga akan memberikan periode lebih panjang kepada bibit untuk memaksimalkan pembentukan phyllochrons sebelum inisiasi malai (Berkelaar, 2001; Defeng, Shihua, Yuping dan Xiaqing, 2002).    Di Cina, lebih disukai menanam bibit umur 15 hari atau yang lebih muda dari pada itu, dan mampu menghasilkan jumlah anakan produktif maksimal 60 batang (Qingquan, 2002; Hui dan Jun, 2003). Menurut Kasim (2004), jumlah anakan dapat mencapai 40 - 80 batang.  Sedangkan di Indonesia  kebiasaan petani menanam bibit berumur 3 minggu, dengan jumlah anakan produktif maksimal 25 batang (Utomo dan Nazaruddin, 2000; Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan 2004; ). 
Umur pindah bibit lebih muda yakni 8-15 hari setelah semai, memberikan kesempatan kepada bibit untuk beradaptasi dan dengan lebih awalnya bibit dipindahkan akan memberikan waktu yang lebih panjang kepada bibit untuk membentuk anakan atau phyllochrons lebih banyak, seperti terlihat pada Tabel 1 berikut ini (Berkelaar, 2001;  Defeng et al., 2002). 
Menurut Uphoff (2002), bahwa metode SRI  bibit ditanam secara tunggal sehingga tidak terdapat kompetisi diantara akar tanaman yang dapat menghambat pertumbuhan.  Menurut Barkelaar (2001), bahwa bibit ditransplantasi satu-satu agar tanaman memiliki ruang untuk menyebar dan memperdalam perakaran, sehingga tanaman tidak bersaing terlalu ketat untuk memperoleh ruang tumbuh, cahaya atau nutrisi dalam tanah.
Menurut Gani et al., (2002) metode SRI dengan prinsip tanam satu bibit per titik tanam atau per rumpun masih dapat dikembangkan dengan menanam dua sampai tiga bibit per titik tanam atau per rumpun sehingga dapat memberikan hasil terbaik. 
Menurut Kasim (2004), berdasarkan hasil penelitian dengan penerapan SRI dibandingkan dengan cara konvensional yang biasa dilakukan oleh masyarakat  selama ini didapatkan bahwa jumlah anakan 40 – 80 batang, jauh lebih banyak dari anakan dengan cara konvensional yang hanya 15 – 30 batang dan produksi 7,8 t ha-1, sementara rata-rata produksi padi Sumatera Barat hanya 4,5 t ha-1. Menurut Joelibarison (1998) dalam Berkelaar (2001), tingginya hasil SRI dibandingkan dengan konvensional,  didukung oleh tingginya komponen hasil.


Simpulan
Ć¼        Padi yang ditanam tidak menghasilkan bentuk yang normal
Ć¼        Padi yang ditanam pada umur pindah 2 minggu lebih banyak anakannya dibandingkan umur 3 minggu

Daftar Pustaka
Berkelaar, D.  2001.  Sistem intensifikasi padi (the system of rice intensification-SRI) : Sedikit dapat memberi lebih banyak. 7 hal terjemahan.  ECHO, Inc. 17391 Durrance Rd. North Ft. Myers FL. 33917 USA.

Defeng, Z., Shihua, C., Yuping, Z., and Xiqing, L.  2002.  Tillering patterns and the contribution of tillers to grain yield with hybrid rice and wide spacing.  China National Rice Resseach Institute, Hangzau.

Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan.  2004.  Pedoman umum pengembangan padi varietas unggul tipe baru (VUTB).  Jakarta 2004.

Gani, A., T.S. Kadir, A. Jatiharti, I.P. Wardhana, and I. Las.  2002.  The system of rice intensification in Indonesia. Research Institute for Rice, Agency for Agricultural Reseach and Development.  Bogor.

Kasim, M.  2004.  Manajemen penggunaan air: meminimalkan penggunaan air untuk meningkatkan produksi padi sawah melalui sistem intensifikasi padi (The System of rice intensification-SRI).  Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar Unand.  Padang 2004.

Qingquan, Y.  2002.  The system of rice intensification and its use with hybrid rice varietas in China.  Hunan Agricultural University Changsha, Hunan.

Stoop, W.A., N. Uphoff, and A. Kassam. 2001. A review ofagricultural research issues raised by the system of rice intensification (SRI) from Madagaskar: opportunities for improving farming systems for resource-poor farmers. Agricultural Systems. J. Volume 71, pp. 249-274.


Uphoff, N.  2002.  Presentation for c on raising agricultural productivity in the tropics: Biophysical challenges for technology and policy: The system of rice intensification developed in Madagaskar.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Followers