LAPORAN
PRAKTIKUM
PRODUKSI
TANAMAN PANGAN
OLEH:
Nama :ABEN CANDRA
NPM :E1J010070
Dosen :
Ir. Hermansyah., MP
Lokasi :
Zona Pertanian Terpadu
PRODI AGROEKOTEKNOLOGI
JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN
JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN
FAKULTAS
PERTANIAN UNIV. BENGKULU.
2012
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Meningkatnya
jumlah penduduk telah meningkatkan kebutuhan pangan, sehingga produksi pangan,
khususnya beras harus ditingkatkan, mengingat beras merupakan bahan makanan
pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Ilmu pengetahuan dan teknologi
diharapkan mampu memberi kontribusi dan solusi yang tepat, dalam menghadapi
permasalahan tersebut.
Salah
satu upaya untuk meningkatkan produksi padi antara lain melalui pengaturan
jarak tanam dan penggunaan umur bibit yang tepat. Jarak tanam dipengaruhi oleh
sifat varietas padi yang ditanam dan kesuburan tanah. Varietas padi yang
memiliki sifat menganak tinggi
membutuhkan jarak tanam lebih lebar jika dibandingkan dengan varietas yang
memiliki daya menganaknya rendah. Umur bibit pindah tanam harus tepat dan
sesuai untuk mengantisipasi perkembangan akar yang umumnya berhenti pada umur
42 hari sesudah semai, sementara jumlah anakan produktif akan mencapai maksimal
pada umur 49-50 hari sesudah semai (Thangaraj and O’Toole, 1985).
Secara
umum jarak tanam dan umur bibit pada padi sawah diketahui berpengaruh terhadap
pertumbuhan maupun hasil padi sawah. Walaupun demikian umur bibit dan jarak
tanam yang optimum masih belum diketahui dengan tepat,oleh karena itu
penelitian mengenai jarak tanam dan umur bibit pada tanaman padi sawah masih
sangat penting untuk dilakukan.
Padi adalah salah satu tanaman
budidaya terpenting dalam peradaban manusia. Meskipun terutama mengacu pada
jenis tanaman budidaya, padi juga digunakan untuk mengacu pada beberapa jenis
dari marga (genus) yang sama, yang disebut padi liar.
Produksi padi dunia menempati
urutan ketiga dari semua serealia setelah jagung dan gandum. Namun demikian,
padi merupakan sumber karbohidrat utama bagi mayoritas penduduk dunia.
Negara produsen padi terkemuka
adalah Republik Rakyat Cina (31% dari total produksi dunia), India (20%), dan
Indonesia (9%). Namun hanya sebagian kecil produksi padi dunia yang
diperdagangkan antar negara (hanya 5%-6% dari total produksi dunia). Thailand
merupakan pengekspor padi utama (26% dari total padi yang diperdagangkan di
dunia) diikuti Vietnam (15%) dan Amerika Serikat (11%). Indonesia merupakan
pengimpor padi terbesar dunia (14% dari padi yang diperdagangkan di dunia)
diikuti Bangladesh (4%), dan Brazil (3%).Produksi padi Indonesia pada 2006
adalah 54 juta ton , kemudian tahun 2007 adalah 57 juta ton (angka ramalan
III), meleset dari target semula yang 60 juta ton akibat terjadinya kekeringan
yang disebabkan gejala ENSO.
Padi termasuk dalam suku
padi-padian atau Poaceae (sinonim Graminae atau Glumiflorae). Sejumlah ciri
suku (familia) ini juga menjadi ciri padi, misalnya
·
berakar
serabut,
·
daun
berbentuk lanset (sempit memanjang),
·
urat
daun sejajar,
·
memiliki
pelepah daun,
·
bunga
tersusun sebagai bunga majemuk dengan satuan bunga berupa floret,
·
floret
tersusun dalam spikelet, khusus untuk padi satu spikelet hanya memiliki satu
floret,
·
buah
dan biji sulit dibedakan karena merupakan bulir (Ing. grain) atau kariopsis.
Padi tersebar luas di seluruh
dunia dan tumbuh di hampir semua bagian dunia yang memiliki cukup air dan suhu
udara cukup hangat. Padi menyukai tanah yang lembab dan becek. Sejumlah ahli
menduga, padi merupakan hasil evolusi dari tanaman moyang yang hidup di rawa.
Pendapat ini berdasar pada adanya tipe padi yang hidup di rawa-rawa (dapat
ditemukan di sejumlah tempat di Pulau Kalimantan), kebutuhan padi yang tinggi
akan air pada sebagian tahap kehidupannya, dan adanya pembuluh khusus di bagian
akar padi yang berfungsi mengalirkan oksigen ke bagian akar
Setiap bunga padi memiliki
enam kepala sari (anther) dan kepala putik (stigma) bercabang dua berbentuk
sikat botol. Kedua organ seksual ini umumnya siap reproduksi dalam waktu yang
bersamaan. Kepala sari kadang-kadang keluar dari palea dan lemma jika telah masak.
Dari segi reproduksi, padi
merupakan tanaman berpenyerbukan sendiri, karena 95% atau lebih serbuk sari
membuahi sel telur tanaman yang sama.
Setelah pembuahan terjadi,
zigot dan inti polar yang telah dibuahi segera membelah diri. Zigot berkembang
membentuk embrio dan inti polar menjadi endospermia. Pada akhir perkembangan,
sebagian besar bulir padi mengadung pati di bagian endospermia. Bagi tanaman
muda, pati berfungsi sebagai cadangan makanan. Bagi manusia, pati dimanfaatkan
sebagai sumber gizi.
Satu set genom padi terdiri
dari 12 kromosom. Karena padi adalah tanaman diploid, maka setiap sel padi
memiliki 12 pasang kromosom (kecuali sel seksual).Padi merupakan organisme
model dalam kajian genetika tumbuhan karena dua alasan: kepentingannya bagi umat
manusia dan ukuran kromosom yang relatif kecil, yaitu 1.6~2.3 × 108 pasangan
basa (base pairs, bp) (Sumber: situs Gramene.org)
Pemuliaan padi telah
berlangsung sejak manusia membudidayakan padi. Dari hasil tindakan ini orang
mengenal berbagai macam ras lokal padi, seperti rajalele dari Klaten atau
cianjur pandanwangi dari Cianjur. Orang juga berhasil mengembangkan padi lahan
kering (padi gogo) yang tidak memerlukan penggenangan atau padi rawa, yang
mampu beradaptasi terhadap kedalaman air rawa yang berubah-ubah. Di negara lain
dikembangkan pula berbagai tipe padi (lihat bagian Keanekaragaman padi).
Namun demikian, pemuliaan padi
secara sistematis baru dilakukan sejak didirikannya IRRI di Filipina. Sejak
saat itu, berbagai macam tipe padi dengan kualitas berbeda-beda berhasil
dikembangkan secara terencana untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia.
Pada tahun 1960-an pemuliaan
padi diarahkan sepenuhnya pada peningkatan hasil. Hasilnya adalah padi 'IR5'
dan 'IR8' (di Indonesia diadaptasi menjadi 'PB5' dan 'PB8'). Walaupun hasilnya
tinggi tetapi banyak petani menolak karena rasanya tidak enak (pera). Selain
itu, terjadi wabah hama wereng coklat pada tahun 1970-an. Puluhan ribu
persilangan kemudian dilanjutkan untuk menghasilkan kultivar dengan potensi
hasil tinggi dan tahan terhadap berbagai hama dan penyakit padi. Pada tahun
1984 Indonesia pernah meraih penghargaan dari PBB (FAO) karena berhasil
meningkatkan produksi padi hingga dalam waktu 20 tahun dapat berubah dari
pengimpor padi terbesar dunia menjadi negara swasembada beras. Prestasi ini,
sayangnya, tidak dapat dilanjutkan. Saat ini Indonesia kembali menjadi
pengimpor padi terbesar di dunia.
Hadirnya bioteknologi dan
rekayasa genetika pada tahun 1980-an memungkinkan perbaikan kualitas nasi.
Sejumlah tim peneliti di Swiss mengembangkan padi transgenik yang mampu
memproduksi toksin bagi hama pemakan bulir padi dengan harapan menurunkan
penggunaan pestisida. IRRI, bekerja sama dengan beberapa lembaga lain, merakit
"padi emas" (golden rice) yang dapat menghasilkan pro-vitamin A pada
berasnya, yang diarahkan bagi pengentasan defisiensi vitamin A di berbagai
negara berkembang. Suatu tim peneliti dari Jepang juga mengembangkan padi yang
menghasilkan toksin bagi bakteri kolera[1]. Diharapkan beras yang dihasilkan
padi ini dapat menjadi alternatif imunisasi kolera, terutama di negara-negara
berkembang.
Sejak penghujung abad ke-20
dikembangkan padi hibrida, yang memiliki potensi hasil lebih tinggi. Karena
biaya pembuatannya tinggi, kultivar jenis ini dijual dengan harga lebih mahal
daripada kultivar padi yang dirakit dengan metode lain.
Selain perbaikan potensi
hasil, sasaran pemuliaan padi mencakup pula tanaman yang lebih tahan terhadap
berbagai organisme pengganggu tanaman (OPT) dan tekanan (stres) abiotik
(seperti kekeringan, salinitas, dan tanah masam). Pemuliaan yang diarahkan pada
peningkatan kualitas nasi juga dilakukan, misalnya dengan perakitan kultivar
mengandung karoten (provitamin A).
Keanekaragaman botanis
Terdapat dua spesies padi yang
dibudidayakan manusia: Oryza sativa yang berasal dari daerah hulu sungai di
kaki Pegunungan Himalaya (India dan Tibet/Tiongkok) dan O. glaberrima yang
berasal dari Afrika Barat (hulu Sungai Niger).
O. sativa terdiri dari dua
varietas, indica dan japonica (sinonim sinica). Varietas japonica umumnya
berumur panjang, postur tinggi namun mudah rebah, paleanya memiliki
"bulu" (Ing. awn), bijinya cenderung panjang. Varietas indica,
sebaliknya, berumur lebih pendek, postur lebih kecil, paleanya tidak
ber-"bulu" atau hanya pendek saja, dan biji cenderung oval. Walaupun
kedua varietas dapat saling membuahi, persentase keberhasilannya tidak tinggi.
Contoh terkenal dari hasil persilangan ini adalah kultivar IR8, yang merupakan
hasil seleksi dari persilangan varietas japonica (kultivar 'Deegeowoogen' dari
Formosa dan varietas indica (kultivar 'Peta' dari Indonesia). Selain kedua
varietas ini, dikenal pula sekelompok padi yang tergolong varietas minor
javanica yang memiliki sifat antara dari kedua varietas utama di atas. Varietas
javanica hanya ditemukan di Pulau Jawa. Budidaya padi yang telah berlangsung
lama telah menghasilkan berbagai macam jenis padi akibat seleksi dan pemuliaan
yang dilakukan orang.
Teknik budidaya padi telah
dikenal oleh manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Sejumlah sistem budidaya
diterapkan untuk padi.Budidaya padi sawah (Ing. paddy atau paddy field), diduga
dimulai dari daerah lembah Sungai Yangtse di Tiongkok.Budidaya padi lahan
kering, dikenal manusia lebih dahulu daripada budidaya padi sawah.Budidaya padi
lahan rawa, dilakukan di beberapa tempat di Pulau Kalimantan.
Praktikum ini bertujuan untuk me,mbedakan Pertumbuhan padi pada umur
pindah tanam 2 minggu dan 3 minggu.
II. METODELOGI
Alat dan bahan
·
Kertas
tulis
·
Polibag
·
Benih Padi
A. Hasil pengamatan
Pengamatan 1 ( minggu
ke 1 setelah pindah tanam)
Tanaman umur 2 minggu
|
Tinggi
|
Jumlah anakan
|
1
|
27
|
1
|
2
|
26.6
|
1
|
3
|
18.5
|
1
|
4
|
22.4
|
1
|
5
|
19
|
1
|
Pengamatan 2 ( minggu
ke 2 setelah pindah tanam)
2 minggu
pindah tanam
|
Tinggi
|
Jumlah anakan
|
1
|
32
|
4
|
2
|
36
|
1
|
3
|
30.5
|
3
|
4
|
27
|
1
|
5
|
30
|
2
|
3 minggu pindah tanam
|
Tinggi
|
Jumlah anakan
|
1
|
35,2
|
16
|
2
|
40,8
|
5
|
3
|
42
|
14
|
4
|
30
|
7
|
5
|
43,6
|
15
|
Pengamatan 4 ( minggu
ke 4 setelah pindah tanam)
2 minggu pindah tanam
|
Tinggi
|
Jumlah anakan
|
1
|
40
|
23
|
2
|
43.5
|
10
|
3
|
51.4
|
28
|
4
|
38.5
|
16
|
5
|
47.2
|
23
|
3 minggu pindah tanam
|
Tinggi
|
Jumlah anakan
|
1
|
20
|
2
|
2
|
28.3
|
1
|
3
|
33.2
|
1
|
4
|
33
|
3
|
5
|
27.5
|
2
|
Pengamatan 5 ( minggu
ke 5 setelah pindah tanam)
2 minggu pindah tanam
|
Tinggi
|
Jumlah anakan
|
1
|
70
|
43
|
2
|
52
|
45
|
3
|
53.5
|
32
|
4
|
50
|
32
|
5
|
50
|
59
|
3 minggu pindah tanam
|
Tinggi
|
Jumlah anakan
|
1
|
43.5
|
7
|
2
|
45
|
14
|
3
|
44
|
11
|
4
|
40
|
23
|
5
|
43
|
12
|
Pengamatan 6 ( minggu
ke 6 setelah pindah tanam)
2 minggu pindah tanam
|
Tinggi
|
Jumlah anakan
|
1
|
70.5
|
48
|
2
|
63
|
49
|
3
|
62
|
51
|
4
|
75
|
43
|
5
|
61
|
68
|
3 minggu pindah tanam
|
Tinggi
|
Jumlah anakan
|
1
|
59
|
18
|
2
|
45
|
27
|
3
|
44
|
17
|
4
|
41
|
31
|
5
|
43
|
17
|
Pengamatan 7 ( minggu
ke 7 setelah pindah tanam)
2 minggu pindah tanam
|
Tinggi
|
Jumlah anakan
|
1
|
84
|
50
|
2
|
72
|
51
|
3
|
73
|
53
|
4
|
76
|
48
|
5
|
64.9
|
69
|
3 minggu
pindah tanam
|
Tinggi
|
Jumlah anakan
|
1
|
62
|
26
|
2
|
61
|
37
|
3
|
89
|
22
|
4
|
44.5
|
33
|
5
|
44
|
17
|
B. Pembahasan
Budidaya padi menurut metode SRI,
merupakan satu metode untuk meningkatkan produktivitas padi beririgasi yang
meliputi perubahan pengelolaan penanaman, tanah, air, dan nutrisi bila
dibandingkan dengan cara konvensional (Uphoff, 2002). Menurut Kasim (2004), budidaya metode SRI dapat menghindari stagnasi bibit, menghemat
waktu, mengurangi kebutuhan benih, meningkatkan jumlah anakan, menghemat
pemakaian air, dan produksi lebih tinggi.
Pemakaian bibit per titik tanam berpengaruh
terhadap pertumbuhan karena secara langsung berhadapan dengan kompetisi antar
tanaman dalam satu rumpun. Jumlah bibit
per titik tanam yang lebih sedikit akan memberikan ruang pada tanaman untuk menyebar
dan memperdalam perakaran (Berkelaar, 2001).
Menurut Uphoff (2002), bahwa
metode SRI bibit ditanam secara
tunggal sehingga tidak terdapat kompetisi diantara akar tanaman yang dapat
menghambat pertumbuhan. Menurut
Barkelaar (2001), bahwa bibit ditransplantasi satu-satu agar tanaman memiliki
ruang untuk menyebar dan memperdalam perakaran, sehingga tanaman tidak bersaing
terlalu ketat untuk memperoleh ruang tumbuh, cahaya atau nutrisi dalam tanah.
Hasil uji coba sistem SRI di Indonesia dengan 1 bibit dapat menghasilkan 6,9 –
9,7 t ha-1 dan pada tingkat petani 5,0 – 9,3 t ha-1
(Gani, Kadir, Jatiharti, Wardhana dan Las, 2002), sedangkan menurut Stoop, Uphoff dan Kassam (2003), di negara lain seperti
Cina, Madagaskar, dan Filipina dengan menggunakan 1 bibit per titik tanam, dapat menghasilkan
produksi padi 10,5 – 16,0 t ha-1
Umur bibit pindah lapang sangat berpengaruh terhadap
produksi padi. Semakin cepat bibit
pindah lapang akan semakin memadai periode bibit beradaptasi dengan lingkungan
baru, sehingga semakin memadai periode untuk perkembangan anakan dan akar. Pemindahan bibit lebih awal ini juga akan
memberikan periode lebih panjang kepada bibit untuk memaksimalkan pembentukan phyllochrons
sebelum inisiasi malai (Berkelaar, 2001; Defeng, Shihua, Yuping dan
Xiaqing, 2002). Di Cina, lebih disukai
menanam bibit umur 15 hari atau yang lebih muda dari pada itu, dan mampu
menghasilkan jumlah anakan produktif maksimal 60 batang (Qingquan, 2002; Hui
dan Jun, 2003). Menurut Kasim (2004), jumlah anakan dapat mencapai 40 - 80
batang. Sedangkan di Indonesia kebiasaan petani menanam bibit berumur 3
minggu, dengan jumlah anakan produktif maksimal 25 batang (Utomo dan
Nazaruddin, 2000; Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan 2004; ).
Umur pindah bibit lebih muda yakni
8-15 hari setelah semai, memberikan kesempatan kepada bibit untuk beradaptasi
dan dengan lebih awalnya bibit dipindahkan akan memberikan waktu yang lebih
panjang kepada bibit untuk membentuk anakan atau phyllochrons lebih
banyak, seperti terlihat pada Tabel 1 berikut ini (Berkelaar, 2001; Defeng et al., 2002).
Menurut Uphoff (2002), bahwa
metode SRI bibit ditanam secara
tunggal sehingga tidak terdapat kompetisi diantara akar tanaman yang dapat
menghambat pertumbuhan. Menurut
Barkelaar (2001), bahwa bibit ditransplantasi satu-satu agar tanaman memiliki
ruang untuk menyebar dan memperdalam perakaran, sehingga tanaman tidak bersaing
terlalu ketat untuk memperoleh ruang tumbuh, cahaya atau nutrisi dalam tanah.
Menurut Gani et al., (2002)
metode SRI dengan prinsip tanam satu bibit per titik tanam atau per
rumpun masih dapat dikembangkan dengan menanam dua sampai tiga bibit per titik
tanam atau per rumpun sehingga dapat memberikan hasil terbaik.
Menurut Kasim (2004), berdasarkan
hasil penelitian dengan penerapan SRI dibandingkan dengan cara
konvensional yang biasa dilakukan oleh masyarakat selama ini didapatkan bahwa jumlah anakan 40
– 80 batang, jauh lebih banyak dari anakan dengan cara konvensional yang hanya
15 – 30 batang dan produksi 7,8 t ha-1, sementara rata-rata produksi
padi Sumatera Barat hanya 4,5 t ha-1. Menurut Joelibarison (1998) dalam
Berkelaar (2001), tingginya hasil SRI dibandingkan dengan
konvensional, didukung oleh tingginya
komponen hasil.
Simpulan
Ć¼
Padi
yang ditanam tidak menghasilkan bentuk yang normal
Ć¼
Padi yang ditanam pada umur pindah 2 minggu
lebih banyak anakannya dibandingkan umur 3 minggu
Daftar Pustaka
Berkelaar, D. 2001.
Sistem intensifikasi padi (the system of rice intensification-SRI) :
Sedikit dapat memberi lebih banyak. 7 hal terjemahan. ECHO, Inc. 17391 Durrance Rd. North Ft. Myers
FL. 33917 USA.
Defeng, Z., Shihua, C., Yuping, Z., and Xiqing, L. 2002.
Tillering patterns and the contribution of tillers to grain yield with
hybrid rice and wide spacing. China
National Rice Resseach Institute, Hangzau.
Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan.
2004. Pedoman umum pengembangan
padi varietas unggul tipe baru (VUTB).
Jakarta 2004.
Gani, A., T.S. Kadir, A. Jatiharti, I.P. Wardhana, and I. Las. 2002.
The system of rice intensification in Indonesia. Research Institute for
Rice, Agency for Agricultural Reseach and Development. Bogor.
Kasim, M. 2004. Manajemen penggunaan air: meminimalkan
penggunaan air untuk meningkatkan produksi padi sawah melalui sistem intensifikasi
padi (The System of rice intensification-SRI).
Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar Unand. Padang 2004.
Qingquan, Y. 2002. The system of rice intensification and its
use with hybrid rice varietas in China.
Hunan Agricultural University Changsha, Hunan.
Stoop, W.A., N. Uphoff, and A. Kassam. 2001. A review ofagricultural
research issues raised by the system of rice intensification (SRI) from
Madagaskar: opportunities for improving farming systems for resource-poor
farmers. Agricultural Systems. J. Volume 71, pp. 249-274.
Uphoff, N.
2002. Presentation for c on
raising agricultural productivity in the tropics: Biophysical challenges for
technology and policy: The system of rice intensification developed in
Madagaskar.
0 komentar:
Posting Komentar