Rabu, 25 Juli 2012

OSPEK KEJAM, UDAH NGGA ZAMAN


Kegiatan yang satu ini seringkali menjadi momok bagi para pelajar yang baru masuk ke sebuah lembaga pendidikan formal. Perasaan takut terbias di wajah-wajah mereka. Ya, OSPEK (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus). Hampir seluruh lembaga pendidikan formal, mulai SMP, SMA, hingga perguruan tinggi di seantero Indonesia, setiap awal tahun ajaran baru, pasti mengadakan “hajatan” lokal ini. Tidak afdholkatanya kalau tidak merayakannya. Bahkan, sedari awal ospek selalu saja jadi agenda wajib sekaligus hiburan bagi para senior angkatan.

Kegiatan ini, jika direnungkan betul-betul, sambil flashback, menilik fakta-fakta yang ada selama ini, akan tampak sebagai aksi anarkis, biadab, kezaliman, penghinaan, terorisme, dan deviasi (penyimpangan) terhadap Syariat Islam. Ingat, terorisme itu tidak cuma pengeboman, pembunuhan massal, atau perompakan, tapi secara bahasa teror adalah segala tindakan menebar ketakutan. Ok lah, kalau para aktivis OSPEK itu nonMuslim, sisi deviasi terhadap Islam bisa diabaikan, tapi tetap saja sisi negatif lainnya tidak bisa dikesampingkan. Sudah menjadi kesepakatan tidak tertulis, tindak kezaliman dan semacamnya itu sampai kapan pun tidak dibolehkan.
Lucunya, untuk menutupi sisi kejahatannya, jadilah OSPEK gonta-ganti nama. Pekan Orientasi Studi (POS) lah, Pengenalan Kehidupan Ilmiah Kampus lah, Pengkaderan, Pendampingan, Pembinaan Mental lah, dan masih banyak istilah yang dibuat sesopan mungkin. Tujuannya sih, biar tidak ada yang menghujat. Tapi tetap saja, sepandai-pandainya orang menyimpan bangkai, pasti akan tercium juga. Kalau OSPEK atau apa lah namanya, masih berbau kriminal, pasti akan banyak yang menolak. Sekali kejahatan, tetap kejahatan, sampai OSPEK jadi kegiatan yang murni positif.
Secara legal formal, (cieee, serius amat) OSPEK sudah dihapuskan, sejak masih bernama Mapram atau Mapras, dengan SK Menteri P dan K No. 043 / 1971 yang melibatkan 23 instansi, dari Departemen P dan K  sampai Bappenas. Mapram terus berevolusi jadi POS, berevolusi lagi jadi OS (Orientasi Studi), dan yang terakhir namanya jadi OSPEK. Karena masih banyaknya korban kriminalitas OSPEK, keluar deh Surat Edaran Dirjen Dikti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan No. 1539/D/I/1999 yang dengan tegas bin jelas, melarang praktek perploncoan, dalam surat yang disahkan pada 17 Juni 1999.  Puncaknya, sejarah “keemasan” OSPEK (seharusnya) berakhir dengan dikeluarkannya SK Dirjen Dikti No.38/Dikti/2000 yang menghapus OSPEK dan menyerahkan prosesi pengenalan kehidupan kampus itu pada kampus yang bersangkutan, sekaligus memberi warning agar lebih menekankan pada kegiatan akademis, bukan anarkis.
Tapi ya namanya manusia, apa artinya selembar kertas SK kalau tidak dibarengi dengan semangat perbaikan yang tinggi dari masyarakat kampus khususnya mahasiswa? Terbukti sampai saat ini perploncoan itu masih saja dijadikan tradisi tahunan. Bandel amat sih pelajar Indonesia itu. Kita lihat saja, korban-korban OSPEK ini tidak bisa dihitung lagi, saking banyaknya. Nyawa, kesehatan, kehormatan, keperawanan, harta, bahkan keimanan dan keislaman, melayang gara-gara OSPEK. Konyol kan? OSPEK yang katanya untuk pengenalan kehidupan kampus dan persiapan untuk jadi pelajar sukses, malah berbuntut keburukan bagi masa depan pelajar itu sendiri.
“Musik” Klasik
Minimal ada 4 alasan klasik (kalau tidak mau disebut alibi atau kedok) yang selalu menjadi jawaban andalan ketika perploncoan dikritisi. Pertama, agar tidak ada jarak antara mahasiswa baru dan lama. Kedua, meningkatkan solidaritas sesama mahasiswa baru. Ketiga, membangun kekuatan mental. Keempat,mempersiapkan para pelajar baru untuk menjadi pelajar yang tangguh, prestatif, dan pretisius.
Jujur saja, buat kamu-kamu yang ngotot OSPEK harus tetep ada, sudahkah OSPEK berhasil mewujudkan minimal keempat tujuan ini? Kalau mau jawab dengan hati yang jernih, OSPEK selama ini malah menunjukkan sisi negatifnya. Sebagai contoh; Pertama, tidak edukatif, karena seringkali para mahasiswa baru disuruh untuk mengerjakan tugas yang tidak jelas manfaatnya, tidak logis, melelahkan, dan membuang waktu secara sia-sia. Kedua, merendahkan martabat para mahasiswa baru. Ketiga, kental nuansa anarkisnya, yang sebenarnya cukup untuk dimasukkan sebagai bentuk pelanggaran HAM. Keempat,memupuk mental pengecut dan balas dendam. Kelima, melanggar hukum, etika, ajaran agama manapun, dan mencoreng budaya Indonesia. Keenam, melanggar kaidah hidup berdemokrasi, karena para mahasiswa baru tidak diberikan kebebasan dalam banyak hal, seperti kebebasan bersuara, kebebasan mengemukakan pendapat, kebebasan untuk menolak, dan kebebasan untuk menyanggah pernyataan. Ketujuh, menyita waktu, utamanya mahasiswa yang muslim. Bayangin dech, gara-gara ospek, mahasiswa muslim, jadi berkurang banyak waktunya buat ibadah, shalat fardhu jadi keteteran, apalagi shalat malam, malah kedodoran, upss, emangnya celana. Ini baru beberapa contoh penyimpangannya.
Alternatif OSPEK yang Efektif
Kalau niat tulus dan tekad sudah bulat untuk berubah menjadi OSPEK yang baik dan efektif, tentu seluruh pihak akan berpikir keras mencari kegiatan substitusi bagi OSPEK, dan pasti akan ketemu. Mustahil bin ajaib kalau tidak ketemu, lha wonk sudah bertitel mahasiswa. Kata pepatah Arab, “Man jadda, wajada,” Siapa sungguh-sungguh meraih sesuatu, dia pasti akan mendapatkannya.
Di antara kegiatan yang bisa efektif menggantikan OSPEK misalnya, Outbound Training. Kegiatan ini sangat efektif untuk memecah kebekuan antar mahasiswa baru menjadi kondisi yang sangat hangat, akrab dan tanpa jarak, dan yang nomor wahid tidak akan ada pihak yang merasa dilecehkan atau pun dirugikan. Untuk melatih daya kritis, bisa dengan metode andragogi, yaitu pelibatan langsung mahasiswa baru terhadap kondisi realitas sosial masyarakat. Konkritnya, diajak bakti sosial, bersih-bersih area kampus sebagai wujud kepekaan terhadap lingkungan, penamaman seribu pohon, penyebaran pamflet Anti Narkoba, Freesex, berkunjung ke pemukiman orang-orang kurang mampu, membuat proyek ringan terkait kemanusiaan, dan sebagainya.
Atau dengan mengadopsi dan memodifikasi metode pesantren kilat, yang tentu saja tidak sekedar mendengar ceramah tetapi interaktif, karena materinya yang memang banyak mengeksplorasi kemampuan para mahasiswa, seperti materi potensi diri, possitive thinking, manajemen pribadi, dan lain-lain. Bisa juga dengan mengadakan kegiatan OSPEK yang murni ditambah dengan DIKLAT. Masih banyak lagi, ide-ide alternatif untuk menggantikan OSPEK yang selama ini tidak humanis dan berbau kriminal, baik yang halus sampai yang terang-terangan. Masih banyak kegiatan yang lebih efektif untuk mempersiapkan para mahasiswa baru menjadi mahasiswa yang sukses, tangguh, prestatif, dan prestisius.
Berantas Sampai ke Akarnya!
OSPEK yang tidak humanis atau yang biasa disebut perploncoan, sama seperti korupsi. Keduanya ibarat kanker ganas stadium akhir. Cara yang paling efektif mengatasinya adalah dengan amputasi. Sebuah langkah pasti harus dilakukan dalam upaya menghapus budaya perploncoan. Tidak hanya karena kita ingin tidak lagi mendengar berita duka dari ekses perploncoan, tetapi lebih dari itu, karena kita tidak ingin tekad reformasi yang telah digalang dengan penuh pengorbanan, darah, dan air mata menemui kegagalan hanya karena dikhianati oleh mahasiswa primitif bin jadul alias kolot yang ‘gagap perubahan’.
Dan kalau dipikir-pikir benar juga kata orang bahwa OSPEK ini sejatinya adalah tradisi peninggalan penjajah bangsa kita yang paling kejam, yap, tepat, Belanda. Jadi, mahasiswa yang masih saja ngotot ngadain OSPEK versi teror mental dan fisik itu hanya mahasiswa yang primitif, jadul, kolot, kuno, ga tahu perkembangan zaman.
Kalau buat yang ngaku beragama Islam sih, pasti sudah pada paham, Muslim itu wajib taat sama Pemerintah yang sah. Dilarang keras membelot apalagi memberontak. Selama perintah dari Pemerintah itu dalam koridor tidak melanggar Syariat Islam. Kalau Pemerintah sudah melarang OSPEK versi teror mental dan fisik, ya sudah, dengar dan taat. Tidak usah lagi OSPEK. Ganti dengan yang bermanfaat dan aman.
Alhasil, OSPEK versi teror mental dan fisik itu sudah jadul (jaman dulu) banget, primitif, sudah ga zamannya lagi. OSPEK ga pake okol, tapi pake akal. Sekarang zamannya OSPEK yang versi edukatif dan progresif. Setuju?
Disebarkan oleh www.thaybah.or.id
 

Followers