Bahaya
Pemikiran Sayyid Quthb
Oleh : Al Ustadz Muhammad As Sewwed
Bukan riwayat hidup beliau yang akan saya tulis
dalam kertas ini. Sudah terlalu banyak orang yang menuliskannya dengan indah,
bahkan kadang berlebihan. Bukan pula perhitungan amal dan perbandingan antara
kebaikan dan kejelekan yang akan saya terangkan karena perhitungan amal dan
hisab akan Allah tegakkan di hari perhitungan kelak dengan teliti dan akan
Allah balas dengan seadil-adilnya.
Saya hanya menukilkan nasihat untuk seluruh kaum
muslimin agar berhati-hati dari pemikiran Sayid Quthb yang berbahaya dan telah
dituangkan kepada kaum muslimin dengan berbagai macam bahasa. Pemikiran beliau
ini laku keras di pasaran karena kekaguman kaum muslimin kepada gerakan,
keberanian dan digantungnya beliau oleh tirani Mesir. Sehingga ketika mereka
mendengar peringatan Ahlus Sunnah dari bahaya pemikiran Sayid Quthb, mereka
tersentak kaget. Jantung mereka seakan berhenti sesaat. “Seorang pejuang Islam
yang mati syahid di tiang gantungan tirani Mesir dikatakan sesat?” Seakan-akan
orang yang mati di tiang gantungan tidak mungkin memiliki penyelewengan dan
bahaya pemikiran.
Maka untuk Allah ‘Azza wa Jalla, kemudian untuk
kebaikan dan keselamatan manhaj kaum muslimin serta untuk kebaikan Sayid Quthb
sendiri yaitu agar penyelewengan dan kerancuan pemikirannya tidak diikuti oleh
orang yang lebih banyak yang berarti menambah dosanya, kami akan jelaskan beberapa
pemikiran beliau yang sangat berbahaya khususnya dalam masalah pengkafiran kaum
muslimin. Semoga dapat bermanfaat bagi kita dan dapat berhati-hati darinya.
Untuk membongkar kesesatan pemikiran Sayid Quthb, maka saya memakai kitab
Adlwa’ Islamiyah ‘ala Aqidah Sayid Quthb oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali
hafidhahullah sebagai rujukan utamanya.
KERANCUAN PEMAHAMAN SAYID TERHADAP “LA ILAAHA
ILLALLAH”
Pemikiran takfir Sayid Quthb merupakan akibat dari akidah dan keyakinan yang
salah terhadap makna kalimat tauhid laa ilaaha illallah. Dia menafsirkan kata
ilah dengan al-hakim (yang menghukumi). Penafsiran ini persis seperti pemikiran
Abul A’la Al-Maududi yang ternyata mengambil pemahaman ini dari seorang ahli
filsafat barat, yaitu Haigle dalam bukunya Al-Hukumah Al-Kulliyah (Pemerintahan
yang Menyeluruh). Syaikh Nadzir Al-Kasymiri (seorang ulama salaf di India)
berkata: “Syaikh Maududi menampilkan pemikiran filsafat barat dari buku
Al-Hukumah Al-Kulliyah dengan dibungkus pemikiran Islam.” (Adlwa’ Islamiyah
hal. 59)
Sebagai contoh, kita nukilkan di sini terjemahan
ucapan Sayid dalam bukunya Al-Adalah Al-Ijtima’iyah (Keadilan Sosial) hal. 182
cet. 12: “Sesungguhnya perkara yang menyakinkan dalam Dien ini adalah
bahwasanya tidak akan tegak di hati ini akidah dan tidak pula dalam kehidupan
dunia, kecuali dengan mempersaksikan bahwasanya laa ilaha illallah, yaitu laa
hakimiyata illa lillah (tidak ada kehakiman kecuali untuk Allah), hakimiyah
yang berujud qadla dan qadar-Nya sebagaimana terwujud dalam syariat dan
perintahnya.”
Demikian pula ucapannya dalam menafsirkan surat
Al-Qashash: Huwallahulladzi la ilaha illahuwa. Dia berkata: “Yaitu tidak ada
sekutu bagi-Nya dalam penciptaan dan ikhtiar.” (Fi Dhilalil Qur`an 5/2707)
Bahkan lebih jelas lagi dia berkata dalam tafsir
surat An-Nas bahwa Al-ilah adalah al-musta’li, al-mustauli, al-mutasallith. (Fi
Dhilal 6/4010) yang semuanya itu bermakna kurang lebih sama yaitu “Yang
Menguasai”.
Demikianlah Sayid mempersempit makna ilah hanya
kepada rububiyah dan melalaikan makna yang hakiki dari kata ilah yang
mengandung makna uluhiyah yaitu “yang berhak untuk diibadahi”. Penafsiran Sayid
ini jelas bertentangan dengan penafsiran para ulama Ahlus Sunnah.
Ibnu Jarir berkata dalam menafsirkan ayat dalam surat Al-Qashash di atas: “Allah
yang Maha Tinggi sebutannya, Rabb kamu –wahai Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam— adalah yang berhak untuk diibadahi yang tidak layak peribadatan itu
diberikan kecuali kepadaNya dan tidak ada yang boleh diibadahi kecuali Dia.”
(Tafsir At-Thabari 20/102)
Demikian pula dalam Tafsir Ibnu Katsir
dikatakan: “Yaitu yang menyendiri dengan uluhiyah dan tidak ada yang berhak
diibadahi kecuali Dia. Sebagaimana tidak ada penguasa yang menciptakan apa yang
dikehendakinya dan memilih sekehendaknya kecuali Dia.” (Tafsir Ibnu Katsir
3/398)
Demikianlah para ulama Ahlus Sunnah memahami kalimat tauhid seperti pemahaman
para pendahulunya dari kalangan salafus shalih, yaitu tidak ada yang berhak
diibadahi kecuali Allah (uluhiyah) yang terkandung di dalamnya makna rububiyah
dan asma wa sifat. Adapun pemahaman Sayid bahwa al-ilah adalah al-hakim atau
al-musta’li, al-mustauli dan al-mutasallith (penguasa), maka perlu
dipertanyakan dari mana dia mendapatkan pemahaman seperti ini. Siapa yang
memahami demikian dari kalangan shahabat atau para ulama salaf?
Pemahaman ini jelas menyimpang karena Ahlus Sunnah secara umum telah memahami
bahwa tauhid rububiyah –yaitu mengakui bahwa Allah penguasa dan pencipta— telah
diakui oleh sebagian besar orang-orang musyrik jahiliyah.
Allah berfirman tentang mereka:
قُلْ لِمَنِ الأَرْضُ وَمَنْ فِيهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلاَ تَذَكَّرُونَ قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلاَ تَتَّقُونَ قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلاَ يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ
Katakanlah: ‘Kepunyaan siapakah bumi ini dan semua yang ada padanya, jika kamu
mengetahui?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah: ‘Maka apakah
kamu tidak ingat?’ Katakanlah: ‘Siapa pemilik langit yang tujuh dan pemilik
‘Arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah: ‘Maka
apakah kamu tidak bertakwa?’ Katakanlah: ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada
kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang
dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab:
‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah: ‘(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu
ditipu?’ (Al-Mukminun: 84-89)
Lupakah Sayid tentang ayat-ayat Allah yang
menjelaskan makna kalimat tauhid dengan tauhidul ibadah, mengesakan Allah dalam
beribadah kepada-Nya dan tidak beribadah kepada selain-Nya? Allah berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُونِ
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan
kepadanya: ‘Bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah olehmu
sekalian akan Aku.’ (Al-Anbiya: 25)
Kita sama-sama mengetahui betapa luasnya makna
ibadah yang mencakup keyakinan, kecintaan, ketaatan, pengabdian, pengagungan,
ketundukan, kekhusyu’an, ketakutan, harapan dan juga mencakup amalan badan
seperti sujud, ruku’, thawaf, doa, istighatsah, isti’anah, serta mencakup
puji-pujian lisan seperti tasbih, tahmid, tahlil, takbir dan lain-lain. Semua
itu dilakukan oleh hamba karena rasa butuh hamba kepada Allah dalam rangka
(menghambakan diri) dan beribadah kepada Allah. Tidak diberikan jenis-jenis
peribadatan ini kecuali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Anehnya Sayid Quthb membawa nama Arab dan bahasa
Arab dalam “pemahaman”nya itu. Dia berkata: “…bahwasanya mereka (orang-orang
Arab) dahulu telah mengetahui dengan bahasa mereka apa makna ilah dan makna laa
ilaha illallah.… Mereka mengetahui bahwa uluhiyah adalah hakimiyah yang paling
tinggi.” (Fi Dhilal 2/1005).
Dia juga berkata pada halaman berikutnya: “Laa
ilaha illallah sebagaimana yang dipahami oleh orang Arab yang mengerti apa-apa
yang ditunjukkan oleh bahasanya yaitu: Tidak ada hakimiyah kecuali untuk Allah
dan tidak ada syariat kecuali dari Allah serta tidak ada kekuasaan seseorang
atas seseorang karena kekuasaan seluruhnya milik Allah.” (Fi Dhilal 2/1006).
Syaikh Rabi’ dalam membantah ucapan ini berkata:
“Sesungguhnya apa yang dinisbahkan oleh Sayid kepada bahasa Arab yaitu tentang
makna uluhiyah adalah hakimiyah, tidak dikenal oleh orang Arab dan tidak pula
dikenal oleh pakar-pakar bahasa Arab ataupun selain mereka. Bahkan al-ilah
menurut orang-orang arab adalah al-ma’bud (yang diibadahi) yang para hamba
mendekatkan diri kepadaNya dengan ibadah disertai ketundukan, penghinaan diri,
kecintaan dan ketakutan, … Bukan bermakna sesuatu yang mereka berhukum
kepadanya.” (hal. 63)
Orang-orang Arab jahiliyah dahulu memiliki tokoh-tokoh dan pemimpin-pemimpin
yang mereka berhukum kepadanya, tetapi mereka tidak menamakannya dengan ILAH
(sesembahan). Bahkan sebaliknya, mereka memiliki berhala-berhala yang mereka
namakan ILAH-ILAH. Seperti LATTA yang berbentuk kuburan. UZZA yang berbentuk
tempat keramat, serta patung-patung lainnya yang mereka bertawasul, berkurban
dan beribadah kepadanya, tetapi mereka tidak menamakan perbuatan mereka dengan
berhukum, bertahkim, atau HAKIMIYAH!
Demikian pula di masa mereka terdapat raja-raja di timur dan di barat, tetapi
mereka tidak menamakannya dengan ILAH.
Ingat! Yang kita bantah di sini bukan kewajiban
bertahkim kepada Allah, melainkan pemahaman sempit Sayid dengan mengatasnamakan
bahasa Arab dan orang-orang Arab. Padahal sama sekali tidak dikenal dalam
bahasa Arab bahwa makna ILAH adalah HAKIM.
KABURNYA PEMAHAMAN SAYID TERHADAP RUBUBIYAH DAN
ULUHIYAH
Kadang-kadang Sayid menafsirkan makna uluhiyah dengan rububiyah. Terkadang pula
sebaliknya. Sayid berkata dalam tafsir Surat Ibrahim ayat 52: “Makna al-ilah
adalah Dzat yang berhak untuk menjadi RABB yaitu yang menghakimi, Yang
memiliki, Yang berbuat, Yang membuat syariat dan Yang mengarahkan.” (Fi Dhilal
4/2114)
Bahkan dia berkata bahwa pertikaian antara
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum musyrikin jahiliyah adalah
dalam masalah rububiyah. Berbeda dengan apa yang disampaikan oleh seluruh ulama
ahlus sunnah. Dia mengatakan: “…perkara uluhiyah sedikit sekali menjadi bahan
pertikaian pada kebanyakan orang-orang jahiliyah, khususnya jahiliyah Arab.
Hanya saja yang selalu menjadi bahan pertikaian adalah masalah rububiyah. Yaitu
masalah penerapan Dien pada kehidupan dunia ini, berupa amal nyata yang
mempengaruhi kehidupan manusia.” (Fi Dhilal)
Dari ucapan ini terlihat bahwa Sayid tidak dapat
membedakan antara uluhiyah dan rububiyah. Kemudian apakah akibat dari kerancuan
pemahaman Sayid terhadap rububiyah dan uluhiyah dan sempitnya pandangan Sayid
terhadap laa ilaha illallah ini?!
PENGKAFIRAN SAYID TERHADAP KAUM MUSLIMIN
Akibatnya sungguh mengerikan! Dia mengkafirkan seluruh kaum muslimin dan umat
Islam secara tersirat dan tersurat dan meremehkan kesyirikan dalam masalah
ibadah. Perhatikanlah ucapannya: “…termasuk dalam lingkup masyarakat jahiliyah
adalah masyarakat yang mengaku dirinya muslim. Masyarakat tersebut masuk ke
dalam lingkungan ini bukan karena meyakini uluhiyah kepada selain Allah dan
tidak pula karena menghadapkan syiar-syiar ibadah kepada selain Allah, tetapi
mereka masuk ke dalam masyarakat jahiliyah ini karena tidak beragama dengan
‘peribadatan’ kepada Allah dalam undang-undang kehidupan mereka. Maka yang
demikian –walaupun mereka tidak meyakini uluhiyah seorang pun kecuali Allah—
tetapi mereka telah memberikan yang paling istimewa dari keistimewaan-keistimewaan
ketuhanan kepada selain Allah dan beragama dengan HAKIMIYAH kepada selain
Allah….” (Fi Dhilal)
Tampak dari ucapannya bahwa masyarakat Islam
hanya pengakuan, padahal sebenarnya mereka adalah masyarakat jahiliyah.
Terkesan pula bahwa memberikan syiar-syiar ibadah kepada selain Allah adalah
masalah sepele, bahkan sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi
Al-Madkhali bahwa hampir pada semua tulisan Sayid dalam Fi Dhilalil Qur`an dan
yang lainnya tidak memperdulikan para penyembah kubur, orang-orang yang
melampaui batas terhadap ahlul bait dan para wali, serta orang-orang yang
memberikan sifat uluhiyah dan ubudiyah kepada mereka. Dia tidak menghukumi
manusia kecuali dengan penyelisihannya terhadap hakimiyah. Dan penafsiran Sayid
terhadap la ilaha illallah tidak keluar dari HAKIMIYAH, KEKUASAAN dan
KEPEMIMPINAN semata.
Juga ucapan Sayid ketika menafsirkan surat Yusuf ayat 106:
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلاَّ وَهُمْ مُشْرِكُونَ
Tidaklah kebanyakan mereka beriman kepada Allah kecuali dalam keadaan musyrik.
(Yusuf: 106)
Setelah Sayid menyebutkan syirik yang samar dia
mengatakan: “Dan di sana ada syirik yang tampak jelas yaitu tunduk kepada
selain Allah dalam salah satu urusan kehidupan dan tunduk kepada aturan syariat
yang dijadikan (oleh manusia) sebagai hukum. Hal ini merupakan asas dalam
kesyirikan yang tidak bisa dibantah. Demikian pula tunduk kepada adat-adat
kebiasaan seperti mengadakan perayaan-perayaan, musim-musim yang diatur oleh
manusia padahal tidak disyariatkan oleh Allah, tunduk kepada aturan pakaian
yang menyelisihi apa yang diperintahkan oleh Allah untuk ditutupi dan membuka
aurat-aurat yang syariat Allah telah menetapkan untuk ditutup[1]. Urusan
seperti ini lebih dari sekedar pelanggaran dan dosa penyelisihan syariat, karena
urusan itu merupakan ketaatan dan ketundukan kepada pemahaman yang umum pada
masyarakat berupa ciptaan hamba dan meninggalkan perkara jelas yang muncul dari
penguasa para hamba….
Sesungguhnya ketika itu bukan lagi dia sebagai
dosa melainkan pensyariatan karena yang demikian merupakan ketundukan kepada
selain Allah dalam perkara yang menyelisihi perintah Allah….” (Fi Dhilal
4/2023)
Dalam ucapan Sayid di atas terdapat dua bahaya
besar: Pertama, pengkafiran kaum muslimin karena dosa-dosa seperti mengikuti
adat kebiasaan, berpakaian yang menyelisihi syariat dan lain-lain. Kedua,
penafsiran Al-Qur`an tidak seperti apa yang dikehendaki Allah, khususnya dalam
masalah kesyirikan.
Hal ini terjadi karena Sayid bersikap ghuluw
pada masalah hakimiyah sampai-sampai dia berkata: “Sesungguhnya kesyirikian
mereka (jahiliyah) yang asasi bukan dalam keyakinan tetapi pada masalah
hakimiyah.” (Fi Dhilal 3/1492)
Sungguh aneh pemahaman Sayid ini. Bagaimana
kira-kira dia menghukumi raja Najasyi yang masuk Islam dengan keyakinannya dan
belum sempat mempraktekkan hukum-hukum Islam dan belum menerapkan al-hakimiyah
di negerinya? Kalau menurut pemahaman Sayid berarti dia tetap kafir karena
–menurutnya— kesyirikan yang hakiki adalah pada penerapan hakimiyah dan bukan
keyakinan!
Adapun pemahaman Ahlus Sunnah adalah pemahaman
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda kepada para shahabat
ketika mendengar Raja Najasyi meninggal:
قَدْ تُوُفِّيَ الْيَوْمَ رَجُلٌ صَالِحٌ مِنَ الْحَبَشَةِ فَهَلُمَّ فَصَلُّوْا عَلَيْهِ. (رواه البخاري)
Telah meninggal hari ini seorang yang shalih dari Habasyah. Marilah kemari!
Shalatkanlah dia! (HR. Bukhari dengan Fathul Bari 3/1320)
Bagaimana pendapat anda kalau raja Najasyi
menerapkan hakimiyah tetapi tidak meyakini aqidah tauhid dan beribadah kepada
kuburan-kuburan? Apakah Rasulullah akan menganggap dia sebagai muslim?!
ANGGAPAN SAYID BAHWA UMAT ISLAM TELAH LENYAP
Saudaraku kaum muslimin, sesungguhnya Sayid
Quthb tidak menganggap keberadaan kita sebagai muslimin. Dia menganggap umat
Islam telah lenyap dengan lenyapnya kekhilafahan! Lihatlah dia berkata dalam
bukunya Hadlirul Islam wa Mustaqbaluh (Islam kini dan esok): “Kami mengajak
untuk mengembalikan kehidupan yang islami dalam masyarakat yang islami dengan
hukum aqidah Islam dan pandangan yang islami, sebagaimana dihukumi pula oleh
syariat Islam dan aturan yang islami. Kita telah mengetahui bahwa kehidupan
Islam seperti ini telah berhenti sejak lama di seluruh permukaan bumi. Dan
keberadaan Islam pun telah berhenti….”
Tenanglah sebentar! Jangan tergesa-gesa
menafsirkan dengan tafsiran pembelaan, karena Sayid akan berkata lebih jelas
lagi, yaitu: “…kami menampakkan kenyataan yang terakhir ini walaupun akan
menyebabkan munculnya benturan keras dan keputus asaan dari orang-orang yang
masih tetap menginginkan untuk menjadi muslimin.”
Lihatlah dia menyebut kaum muslimin dengan
ungkapan: “Orang-orang yang ingin menjadi muslimin!”
Ucapan yang hampir sama ia ucapkan pula dalam
bukunya Al-Adalah Al-Ijtima’iyah, setelah dia membawakan ayat-ayat tentang
hakimiyah: “Ketika kita memperhatikan seluruh permukaan bumi hari ini, di bawah
cahaya ketetapan ilahi terhadap pemahaman Dien ini, kita tidak mendapatkan
keberadaan Dien ini…. Sesungguhnya keberadaan Dien telah lenyap sejak kelompok
terakhir dari kaum muslimin melepaskan pengesaan Allah dalam hakimiyah dalam
kehidupan manusia. Yang demikian adalah ketika mereka meninggalkan berhukum
dengan syariat Allah semata dalam segala aspek kehidupan.
Kita harus mengakui kenyataan pahit ini dan
harus menampakkannya. Janganlah kita khawatir munculnya “putus harapan” dalam
hati-hati kebanyakan orang-orang yang suka untuk menjadi muslimin. Mereka
seharusnya meyakini bagaimana mereka dapat menjadi muslimin.
Sesungguhnya musuh-musuh Dien ini telah
menjalankan usaha sejak beberapa abad dan masih tetap melaksanakan usaha-usaha
maksimal yang menipu dan jahat untuk merampas kehendak kebanyakan orang yang
ingin menjadi muslimin?” (Al-Adalah hal. 183-184)
Pemikiran-pemikiran Sayid yang berbahaya di antaranya anggapan
beliau bahwa:
1. Kehidupan Islam telah tiada.
2. Bahkan wujud Islam telah berhenti.
3. Anggapan bahwa kaum muslimin adalah orang-orang kafir jahiliyah yang
menginginkan Islam.
4. Inti Islam yang hakiki adalah tauhid hakimiyah.
5. Dia mengharuskan dan menegaskan untuk mengumumkan pengkafiran umat Islam.
Adakah pengkafiran yang lebih jelas daripada
pengkafiran Sayid Quthb ini?! Mana yang dinamakan pengkafiran kalau ucapan
seperti ini tidak dinamakan pengkafiran? Perhatikanlah wahai orang-orang yang
memiliki pandangan!
UMAT ISLAM TELAH MURTAD DAN ADZAB BAGI MEREKA
LEBIH KERAS DARIPADA ORANG KAFIR LAINNYA
Sayid Quthb berkata: “Telah bergeser jaman, kembali seperti keadaan pada hari
datangnya Dien ini kepada manusia (yaitu masa jahiliyah, pent). Telah murtad
manusia menuju peribadatan kepada hamba-hamba dan menuju kerusakan agama-agama.
Mereka telah berpaling dari la ilaha illallah, walaupun sekelompok dari mereka
masih tetap mengumandangkan di menara-menara adzan la ilaha illallah tanpa
memahami maksudnya, tanpa mengerti apa konsekwensinya, padahal dia
mengulang-ulangnya. Juga tanpa menolak pensyariatan hakimiyah yang diaku oleh
para hamba untuk diri-diri mereka. Hal ini sama dengan penuhanan (uluhiyah).
Sama saja, apakah diaku oleh pribadi-pribadi atau team pensyariatan ataupun
oleh masyarakat….” (Fi Dhilal 2/1057)
Bahkan lebih kejam lagi dia berkata: “…yaitu
kemanusiaan seluruhnya, termasuk di dalamnya mereka yang mengulang-ulang di
menara-menara adzan di timur atau di barat bumi ini kalimat laa ilaha illallah
tanpa maksud dan tanpa kenyataan….
Mereka paling berat dosanya dan paling keras
adzabnya karena mereka telah murtad kepada peribadatan para hamba setelah jelas
baginya petunjuk dan karena mereka sebelumnya berada dalam Dien Allah.” (Fi
Dhilal 2/1057)
Lihatlah betapa beraninya Sayid mengkafirkan
kaum muslimin dan menganggap mereka orang-orang murtad yang paling keras
adzabnya. Padahal mereka masih mengumandangkan adzan dan masih shalat. Lantas
apa anggapan dia tentang peribadatan mereka di masjid-masjid?
MASJID MENURUT SAYID ADALAH TEMPAT PERIBADATAN
JAHILIYAH
Bertolak dari pengkafiran dia terhadap masyarakat Islam, maka Sayid menganggap
masjid-masjid mereka sebagai tempat-tempat peribadatan jahiliyah. Dia berkata
ketika menafsirkan ucapan Allah dalam surat Yunus:
وَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى وَأَخِيهِ أَنْ تَبَوَّآ لِقَوْمِكُمَا بِمِصْرَ بُيُوتًا وَاجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قِبْلَةً وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
Dan Kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya: ‘Ambillah olehmu berdua beberapa
rumah di Mesir untuk tempat tinggal bagi kaummu dan jadikanlah olehmu
rumah-rumahmu itu tempat sembahyang dan dirikanlah olehmu sembahyang serta
gembirakanlah orang-orang yang beriman. (Yunus: 87)
Dia berkata: “…inilah pengalaman yang Allah
tunjukkan kepada kelompok mukmin agar menjadi teladan. Bukan khusus bagi Bani
Israil. Tapi ini adalah pengalaman iman yang murni. Kadang-kadang orang-orang
beriman mendapati diri-diri mereka terusir pada suatu hari dari masyarakat
jahiliyah, karena fitnah telah merata, thaghut telah bertambah sombong dan
manusia telah rusak, serta lingkungan telah membusuk. Demikian pula keadaan di
jaman Fir’aun pada masa kini. Di sini Allah mengarahkan kita pada beberapa
perkara:
1. Memisahkan diri dari masyarakat jahiliyah,
busuknya, rusaknya dan kejelekannya sebisa mungkin. Dan mengumpulkan “kelompok
mukmin” yang baik dan bersih dirinya untuk mensucikan, membersihkan dan melatih
serta menyusun mereka hingga datang janji Allah untuk mereka.
2. Menghindari tempat-tempat peribadatan jahiliyah dan menjadikan rumah-rumah
“kelompok muslim” sebagai masjid yang di sana mereka dapat merasakan
keterpisahan mereka dari masyarakat jahiliyah. Kemudian di sana mereka
melangsungkan peribadatan kepada Rabb mereka dengan cara yang benar. Dan
melanjutkan dengan ibadah tersebut menuju semacam keteraturan (tandhim) dalam
lingkungan suasana ibadah yang suci.” (Fi Dhilal 3/1816)
Apa yang terjadi kalau dakwah Sayid yang seperti
ini dibiarkan?!
Jelas penafsiran yang batil ini akan mengakibatkan ditinggalkannya masjid-masjid
dan munculnya Khawarij-Khawarij gaya baru yang memisahkan diri dari masyarakat
Islam dan mengkafirkan mereka. Kemudian siapa yang dimaksud “kelompok mukmin”,
“kelompok muslim” dalam masyarakat jahiliyah ini? Tentu pembaca dapat menebak
dengan melihat akidah dan pemikiran Sayid yang telah dijelaskan. Ya tentunya
yang dia maksud adalah dirinya dan orang-orang yang mengikuti pemikirannya.
JALAN KELUAR MENURUT SAYID
Islam telah lenyap, muslimin telah murtad, masyarakat muslim telah kembali
menjadi jahiliyah. Masjid-masjid telah menjadi tempat-tempat peribadatan
jahiliyah….
Lalu apa yang harus kita perbuat? Dan bagaimana jalan keluar bagi yang ingin
menjadi “kelompok muslim”? Dengarlah apa kata Sayid Quthb berkenaan dengan
pertanyaan ini: “Sesungguhnya tidak ada keselamatan bagi ‘kelompok muslim’ di
seluruh dunia dari adzab yang Allah sebutkan:
… أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعًا وَيُذِيقَ بَعْضَكُمْ بَأْسَ بَعْضٍ…
…atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan)
dan merasakan sebagian kamu keganasan sebagian yang lain…. (Al-An’am: 65)
kecuali jika mereka memisahkan keyakinan,
perasaan dan juga prinsip hidup mereka dari masyarakat jahiliyah dan memisahkan
diri dari kaumnya. Hingga Allah mengijinkan bagi mereka untuk mendirikan negara
Islam yang mereka berpegang padanya. Kalau tidak, maka hendaknya mereka
merasakan dengan seluruh perasaannya bahwa mereka sendirilah umat Islam dan
merasakan bahwa apa dan siapa yang di sekelilingnya yang tidak masuk kepada apa
yang mereka masuki adalah jahiliyah dan masyarakat jahiliyah….” (Fi Dhilal
2/1125)
Inilah jalan keluar menurut Sayid, yaitu dengan
menjadi Khawarij, mengkafirkan dan memisahkan diri dari umat Islam! Inna
lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Tidakkah Sayid melihat dakwah Ahlus Sunnah dan
para ulamanya di jazirah Arab, Yaman, India atau yang lainnya? Tidakkah dia
melihat perjuangan dakwah mereka dalam memurnikan ajaran Islam? Bahkan apakah
Sayid tidak melihat di sampingnya seorang ulama yang berjuang membela tauhid
dan sunnah, yaitu Syaikh Muhibbuddin Al-Khatib rahimahullah?!
PEMIKIRAN TAKFIR SAYID DIAKUI TOKOH-TOKOH IKHWAN
SENDIRI
Sesungguhnya pemikiran takfir Sayid Quthb tidak mungkin dipungkiri lagi. Bahkan
telah diakui pula oleh beberapa tokoh Ikhwanul Muslimin sendiri. Berikut ini
kita dengar beberapa ucapan mereka:
1. Berkata Yusuf Al-Qardlawi dalam bukunya Awlawiyat Al-Harakah Al-Islamiyah:
“Dalam fase ini muncul buku-buku As-Syahid Sayid Quthb yang merupakan fase
terakhir dari pemikirannya yang mengkafirkan masyarakat dan menunda dakwah
sampai kepada keteraturan Islam dengan pembaharuan fikih dan perkembangannya.
Menghidupkan ijtihad serta mengajak untuk memisahkan diri secara perasaan dari
masyarakat, memutus hubungan dengan orang lain, mengumumkan jihad fisik melawan
seluruh manusia….” (Awlawiyat hal. 110)
2. Berkata Farid Abdul Khaliq, salah seorang tokoh besar Ikhwan dalam kitabnya
Ikhwanul Muslimun fi Mizanil Haq hal. 115: “Kita mengetahui dari apa yang telah
lewat bahwa munculnya pemikiran takfir (pengkafiran) di kalangan beberapa
ikhwan bermula dari penjara Qanathir di akhir tahun lima puluhan dan awal enam
puluhan. Mereka terpengaruh oleh Sayid Quthb dan pemikiran-pemikirannya. Mereka
mengambil pemahaman darinya bahwa masyarakat ini dalam keadaan jahiliyah dan
bahwasanya dia telah mengkafirkan pemerintah yang merasa asing dengan hakimiyah
Allah karena tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah. Juga mengkafirkan
rakyatnya karena mereka ridla dengan hal itu.”
3. Berkata Ali Gharisah –juga salah seorang tokoh besar Ikhwan— sebagai
berikut:
“Dalam kejadian ini, terpecah satu kelompok dari kelompok Islam yang besar
ketika keberadaan mereka di penjara-penjara… bersamaan dengan itu kelompok
tersebut bertameng dengan pengkafiran kelompok Islam yang besar. Mereka masih
tetap dalam pendapatnya tentang pengkafiran pemerintah, penolong-penolongnya
serta masyarakat seluruhnya. Kemudian kelompok tersebut berpecah kembali
menjadi beberapa kelompok, yang masing-masing mengkafirkan yang lain….” (Lihat
kembali kitab beliau Al-Ittijahat Al-Fikriyah Al-Mu’ashirah hal. 279)
Ucapan-ucapan mereka ini menunjukkan bahwa
pemikiran takfir Sayid Quthb telah dikenal oleh kawan dan lawannya. Hanya saja
ketika bantahan itu dari “kawan” satu harakah, selalu diiringi basa-basi atau
penyamaran agar tidak terlihat seakan-akan permasalahan ini adalah permasalahan
besar. Seperti Qardlawi setelah ucapan di atas dia berkata: “…Dan buku-buku
beliau tersebut memiliki keutamaan-keutamaan dan pengaruh-pengaruh positif yang
besar di samping pengaruh-pengaruh negatif.” (hal. 110)
Atau seperti ucapan Ali Gharishah yang tidak
menyebutkan siapa atau buku apa atau jamaah apa, dia hanya mengatakan “kelompok
kecil” dan “kelompok besar”.
Saudara-saudaraku kaum muslimin, bisa jadi sikap
basa-basi dan penyamaran yang menyebabkan terasa kecilnya bahaya-bahaya besar
ini adalah karena mereka satu hizb. Mereka menjaga persatuan dan kesatuan
Hizibnya dengan prinsip mereka yang terkenal: KITA SALING TOLONG MENOLONG ATAS
APA YANG KITA SEPAKATI DAN SALING TOLERANSI ATAS APA YANG KITA BERBEDA.
Kalau begitu bagaimana dengan saudara-saudara
kita yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah, salafiyah tetapi memiliki prinsip yang
sama dengan mereka?
SIKAP SAYID TERHADAP UTSMAN BIN AFFAN
radliallahu ‘anhu
Ikhwani fiddien a’azzakumullah, sesungguhnya pemikiran takfir Sayid Quthb bukan
permasalahan sepele. Sikap mengkafirkan seluruh manusia hanya karena dosa-dosa
sungguh sangat berbahaya. Tidakkah kita mendengar bagaimana Ali bin Abi Thalib
menyikapi Khawarij, kemudian memerangi mereka? Tidakkah kita mendengar ucapan
beberapa shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka
sejelek-jelek makhluk?
Pemikiran Sayid yang berbahaya ini juga mengakibatkan celaan dan tuduhan kepada
para shahabat Nabi seperti para pendahulunya dari kalangan Khawarij dan Syiah,
khususnya terhadap Utsman bin Affan dan Muawiyah radliallahu ‘anhuma.
Sayid Quthb tidak mengakui keberadaan khilafah
Utsman radliallahu ‘anhu, padahal masa kekhilafahannya paling panjang. Dia
berkata: “Kami condong kepada anggapan bahwa khilafah Ali radliallahu ‘anhu
adalah kelanjutan dari khilafah dua syaikh sebelumnya (Abu Bakar dan Umar,
pent). Adapun masa Utsman merupakan celah antara keduanya.” (Al-Adalah, hal.
206). Mengapa?
Hal ini setelah Sayid mengatakan pada halaman
sebelumnya tentang Utsman sebagai berikut: “Sesungguhnya di antara kejelekan
yang muncul adalah bahwa Utsman mencapai khilafah dalam keadaan tua, telah
lemah semangat Islamnya dan lemah keinginannya untuk tetap tegar menghadapi
tipu daya Marwan dan tipu daya Bani Umayah di dalamnya.” (Al-Adalah dalam
terjemahan terbitan pustaka hal. 270)
Bahkan dengan terang-terangan dia meragukan ruh
Islam yang ada pada Utsman, yaitu setelah Sayid menyebutkan cerita-cerita
tentang Utsman yang membagi-bagikan harta pada keluarga dan kerabatnya (korupsi).
Juga setelah menceritakan bahwa Utsman mengangkat gubernur-gubernurnya dari
keluarganya sendiri, seperti Muawiyah dan Al-Hakam radliallahu ‘anhum…dst.
Kemudian dia berkata: “…Dan bahwasanya para shahabat mengetahui penyelewengan
dari ruh Islam ini. Maka mereka saling memanggil untuk menyelamatkan Islam dan
menyelamatkan khalifah dari bencana ini. Khalifah –dengan ketuaan dan
kepikunannya— tidak dapat memegang urusannya dari Marwan. Sesungguhnya sangat
susah meragukan ruh Islam di dalam hati Utsman. Tetapi juga sangat sulit
memaafkan kesalahan-kesalahannya yang merupakan kesalahan fatal mengenai
wilayah dan khilafahnya. Sedangkan dia seorang tua renta yang dikelilingi oleh
jajaran orang-orang jelek dari Bani Umayah….” (Al-Adalah hal. 187, cet kelima dan
secara makna pada cet. ke 12 hal 159, dan dalam terjemahan PUSTAKA hal. 272)
Sebaliknya Sayid Quthb justru memuji dan membela
para pemberontak yang membunuh Utsman. Dia berkata: “…akhirnya, terjadilah
pemberontakan atas Utsman. Tercampur padanya kebenaran dan kebatilan, kebaikan
dan kejelekan. Tetapi bagi yang memandang perkara ini dengan “kaca mata Islam”
dan merasakan urusan ini dengan ruh Islam, pasti dia akan menetapkan bahwa
pemberontakan tersebut secara keumuman lebih dekat kepada ruh Islam dan arahannya
daripada sikap Utsman atau lebih tepatnya sikap Marwan dan orang-orang yang di
belakangnya dari Bani Umayyah.” (Al-Adalah hal. 189 cet. ke 5 dan hal. 161, 162
cet. ke 12 dengan beberapa perubahan tetapi intinya sama, hanya pada cetakan
terakhir ini dia menyebut bahwa hal itu karena pengaruh tipu daya Ibnu Saba’
dan dalam terjemahan, hal. 275)[2]
Seharusnya dia mengucapkan: “Barangsiapa
memandang dengan kacamata saya dan merasakan dengan ruh saya….” Karena
kesimpulan dan pandangan seperti itu sama sekali bukan dari Islam. Dan saya
(penulis) sudah menulis pada edisi ke-4 tentang pembelaan terhadap Utsman dan
sekaligus pembelaan para shahabat terhadap Utsman. Silahkan simak kembali
tulisan tersebut. Adapun pandangan Sayid adalah pandangan Khawarij, Syiah dan
Ahli Bid’ah!
Semoga Allah menyelamatkan kaum muslimin dari penyelewengannya dan membuka mata
kaum hizbiyah agar melihat bahayanya serta menghilangkan sikap fanatik mereka
kepadanya. Amin.
——————————————————————————–
[1] Lantas bagaimana dia menghukumi dir-inya yang
mengikuti kebiasaan orang-orang kafir barat dengan memotong habis jenggotnya
dan memakai jas dan berdasi?
[2] Terjemahan buku ini diterbitkan oleh pustaka (Salman) Bandung dengan judul
Keadilan Sosial dalam Islam cet. I th. 1984M/1404 H. Semua apa yang kami nukil
di sini ada dalam terjemahan ini. Walaupun kadang-kadang sedikit berbeda
terjemahan dengan apa yang saya tulis. Tetapi pada intinya sama. Wallahu A’lam.
Sumber Asli :